Teriakan terdengar. Riuh memecah keheningan pagi. Aroma keringat menguar dari tubuh-tubuh yang mengais rezeki. Berlomba mendapatkan laba tertinggi. Sungguh pagi yang hidup.
Tapi, tampaknya kehidupan tidak merata. Di sudut kedai, seorang lelaki tua terduduk lesu menekuk kedua lututnya. Pandangannya kosong ke arah dipan. Dia meratapi kehilangan. Seorang anak kecil tengah memanaskan air di kedai kopi. Dengan cekatan anak kecil itu memasukkan air mendidih ke dalam termos. Tak lama dia merapikan toples kopi, gula, dan tak lupa gorengan.
Siang memetik matahari. Belum ada satu pun pengunjung. Anak kecil berusaha menggaet calon pembeli. Gagal. Pembeli memilih ke kedai kopi di sebelahnya. Anak kecil itu menyerah. Dia duduk di belakang meja, menatap ke arah kursi panjang di depannya. Kosong.
Di tengah kepadatan orang, seorang perempuan muda melangkah menuju kedai kopi itu.
“Akhirnya,” bisik anak kecil itu.
Perempuan itu duduk. Pandangannya tepat ke arah lelaki tua. Beruntung dia masih bisa menahan airmatanya.
“Mbak Ratri?”
Ratri tersenyum. Dia sengaja berkunjung ke sini untuk mengetahui perkembangan kedai kopi dan kondisi psikologis pemiliknya. Atas dasar iba.
“Gimana perkembangan Pak Jati, Yon?”
“Ya begitulah, Mbak. Sejak kunjungan Mbak Ratri sebulan yang lalu, belum ada perubahan berarti.”
Lima tahun berlalu dan kenyataan saat ini setelah dia kembali ke kedai kopi ini untuk kesekian kalinya. Belum ada perubahan pada kedai kopi ini. Masih sepi. Beda jauh. Dulu, kedai kopi ini selalu menjadi tujuan utama. Bahkan, saat pagi pembeli harus rela mengantre demi segelas kopi.
Ratri berpindah duduk, berhadapan dengan Pak Jati. Tangan kanannya menggenggam erat tangan lelaki tua itu. Sementara Yono, diam-diam mencuri dengar di balik tirai.
“Gimana kabarnya, Pak?”
Pak Jati bergeming. Hanya telapak kakinya yang bergerak turun naik.
“Saya Ratri, Pak. Ingat, kan?”
Ratri membuka obrolan dengan hati-hati. Dia tahu benar menghadapi orang depresi. Setidaknya dia belajar banyak dari Ranto, psikolog yang dulu menyelamatkannya dari depresi, suaminya sekarang.
Pak Jati mendongakkan kepalanya.
“Oya, Pak. Hari ini saya berencana mengajak Bapak bersama Yono tinggal di rumah saya. Gimana, Pak? Bapak mau, kan?”
Pak Jati berusaha membuka bibirnya dan berkata terbata-bata.
“Ka ka kamu si si a pa?”
Deg!
Ada kekagetan sekaligus debar kebahagiaan. Setidaknya dia berhasil membuat Pak Jati membuka suara.
“Saya Ratri, Pak.”
“Ratri siapa?”
“Lima tahun yang lalu saat Yono masih kecil, saya pernah membantu Bapak di sini. Ingat, Pak?”
“Tidak,” jawab Pak Jati singkat.
“Apa Bapak juga sudah lupa, kalau kemudian saya memilih pergi karena kelalaian Bapak melunasi syarat, akhirnya wajah saya rusak?”
Pak Jati menggeleng. Ratri tidak menyerah. Dia sudah melupakan dendamnya. Kali ini dia hanya ingin membalas budi.
Pandangan Pak Jati masih lekat di wajah Ratri yang rusak setengahnya. Bukan karena bawaan lahir atau kecelakaan, tapi hasil dari kesepakatan yang tidak diharapkan.
Pak Jati berusaha mengamati wajah Ratri dengan saksama. Sampai akhirnya, Pak Jati menatap lekat mata Ratri.
“Ah! Aku masih belum ingat.”
“Pak… Kalau saya bilang, saya adalah anak gadis Bapak yang telah Bapak jadikan tumbal untuk penglaris kedai ini, Bapak ingat?”
Pak Jati duduk tegak. Bulir airmata penyesalan perlahan mengalir. Pak Jati meraih tubuh Ratri dan memeluknya erat.
“Maafkan Bapak, Anakku.”
(mo)
Merinding bacanya :”(
Woh! Ada Mbak Evi. Terima kasih kunjungannya, Mbak. *menjura*
Jadi tumbal?
Teganya.. 🙁
Hahaha. Mboh. Lha ide yang terlintas itu kok. Ya udah dieksekusi aja. 😀
takjub 😀
Woh! Terima kasih apresiasinya, Noe. *salaman* 🙂
salam balik.. 🙂 salam kenal juga hahaha 😀
Lho kok malah ketawa?
😀
anak sendiri digituin? naudzubillaaah 🙁
Bapaknya kurang ajar, ya? Iya.
Btw, terima kasih kunjungannya.
😀
serem dan sedih sekaligus ..
Aih! Btw, makasih kunjungannya, ya. 😀
tega bapaknya *tendang*
Hahaha.
Biarin. :p
etapi judulnya romantis, Masmo. Bisa dibuat cerita romance tuh.
Buat gih, Mbakyu!
😀
gk nyangka akhir ceritanya bgtu 😀
Hehehe. Makasih, Masya. 😀
Tapi, tampaknya kehidupan tidak merata. Seorang anak kecil tengah memanaskan air di kedai kopi. Dengan cekatan anak kecil itu memasukkan air mendidih ke dalam termos. Tak lama dia merapikan toples kopi, gula, dan tak lupa gorengan.
Di sudut kedai, seorang lelaki tua terduduk lesu menekuk kedua lututnya. Pandangannya kosong ke arah dipan. Dia meratapi kehilangan.
kayaknya susunan dua paragraf di atas agak ‘melompat’ deh. Kalau kalimat ‘ di sudut sebuah kedai…..” digabung setelah kalimat “…tapi tampaknya kehidupan tidak merata…” akan lebih nyambung. 🙂
Salam… 🙂
Woh! Baiklah, Riga. *kemudian ngedit lagi* 😀