Aku melihatnya. Sekilas. Tatap mata yang mampu meruntuhkan congkakku, bahwa cinta itu masih dan akan tetap ada. Dua tahun lamanya tanpa tegur sapa. Membuatku sadar, cinta takkan mudah terhapus begitu saja. Ini getir yang harus kulahap. Semata-mata demi menebus rasa bersalah yang selalu saja hinggap.
Masih kuingat getar halus saat melihat Nindy tampak dekat dan hangat dengan Banyu. Bukan itu saja. Satu hal yang membuat hatiku teriris lebih pedih adalah kenyataan bahwa Tuan Antonio begitu ramah dengan Banyu. Padahal sejatinya, dibandingkan Banyu, aku lebih lama hidup bersamanya. Ini yang tidak bisa aku terima.
Dan, keputusanku tadi tepat. Setidaknya dengan bergegas meninggalkannya, aku tak lagi mencoba mendekatinya, meskipun meninggalkan sesak di dada. Bukan tak ingin. Hanya saja aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Demi almarhumah Nyonya Aryati, ibu Nindy.
Nindy. Perempuan yang kucintai. Sampai saat ini belum bisa kumiliki, sebab telah ada kesepakatan antara aku dengan Banyu, orang yang berbaik hati mengenalkanku pada jalanku saat ini, Raina.
Raina. Perempuan muda anak Tuan Alberto, pemilik Soriano Trattoria. Dia adalah jalanku saat ini. Lewat Banyu, aku diterima bekerja, sehingga bisa mengenal dan lebih dekat dengan Raina, bahkan sangat dekat. Sementara lewat aku, Banyu bisa dekat dengan Nindy. Banyu tidak pernah tahu, ada rasa tersembunyi antara Nindy dan aku. Sebab setahu Banyu, aku hanyalah sopir keluarga itu.
Kuhempaskan tubuh penatku di tempat tidur apartemenku. Atas kebaikan Banyu, aku bisa tinggal di sini. Beruntung selama ini Banyu memegang teguh janjinya. Di depan Nindy, dia selalu bisa berperan seolah-olah tidak mengenalku. Lamunan tentang semuanya membuatku perlahan terlelap.
“Arion… Arion… .”
Samar kudengar suara di depan pintu. Dengan malas kubuka mata lalu kuseret kakiku menuju pintu.
“Banyu?”
“Sori kalau ganggu tidurmu.”
“Enggak papa, kok. Masuk, yuk!”
Banyu mengekor di belakangku. Kutinggalkan dia untuk cuci muka, lalu pergi ke dapur.
“Minumlah!”
Banyu tiba-tiba menatap tajam ke arahku. Getaran aneh menjalar di hatiku.
“Arion… Kamu lupa sama janjimu?”
“Maksud kamu apa, Banyu?”
“Kamu enggak usah pura-pura bodoh, deh. Bukankah kamu udah janji untuk enggak menampakkan diri di depan Nindy?”
Aku terdiam dan mengakui kesalahan. Beruntung Banyu memaafkanku. Kini aku bertekad memegang teguh janjiku. Aku tak ingin keberhasilan rencana di depan mata akan hangus begitu saja akibat kebodohanku. Tinggal selangkah lagi, aku akan menjadi orang nomor satu di Soriano Trattoria. Setelah itu, aku akan kembali memperjuangkan cintaku.
Aku yakin akan menang, lalu pulang, mempersembahkan kebahagiaan untuk orang yang kusayang, Nindy.
~ mo ~