OPINI – Belantara Bernama Toko Buku

– Credit –

Pernahkah kamu merasa tersesat saat berada di toko buku? Jika pernah itu tidak salah. Kenapa? Sebab sejatinya toko buku adalah belantara dengan buku sebagai pepohonannya. Belantara tak selamanya menakutkan, terlebih jika sudah menjelma bentuk yang menyenangkan. Terlebih bagi penjelajah kata-kata yang pastinya suka dengan tantangan-tantangan di dalam belantara. Terlebih jika belum pernah memasukinya. Ada keinginan untuk terus menjelajah dan menemukan harta karun yang tersimpan di dalamnya.

Belantara itu bernama toko buku. Benar. Sebuah bangunan berisi buku itu sejatinya adalah pepohonan dalam bentuk lain, bukan? Menurut saya, iya.

Seperti kita tahu, buku tersusun dari kertas yang dibuat dengan pulp kayu sebagai bahan dasarnya. Lalu dari mana kayu itu berasal? Tentu dari pohon di hutan atau tempat lain yang ditebang, bukan? Jadi tidak salah, kan, kalau saya menyebut belantara bagi toko buku? Menurut saya, tidak.

Terkait hubungan antara buku dan pohon, saya sempat tergelitik dengan salah satu cuitan di linimasa yang pernah saya baca. Kok, bisa? Tentu saja. Cuitan yang saya baca kala itu kurang lebih isinya seperti ini: “Semakin banyak buku dicetak, akan semakin banyak pohon ditebang.”

Merunut dari proses pembuatan kertas penyusun buku dari pulp kayu, tentu cuitan itu ada benarnya. Menurut saya cuitan tersebut menjadi agak kurang tepat ketika tidak ada solusi yang ditawarkan. Iya, kan?

Bagaimanapun juga, setiap orang yang menjalani kehidupan membutuhkan buku sebagai nutrisi otak. Pun pohon. Kehidupan di bumi tentu bergantung pula pada keberadaan pohon. Hal ini mengingat fungsi pohon itu sendiri dalam menjaga keseimbangan kehidupan manusia terutama terkait dengan lingkungan.

Lalu, bagaimana agar kedua hal tersebut, buku dan pohon, bisa bersifat komplementer satu sama lain sehingga keberadaan keduanya tidak harus saling ditiadakan? Pasti ada cara ditemukan jika ada niat untuk mencarinya, bukan? Dan, itu adalah tugas kita bersama-sama untuk setidaknya memikirkan cara yang paling sederhana.

Saya pribadi kemudian berusaha menyederhanakan pemikiran. Kalau boleh dibilang, sangat sederhana. Pemikiran itu berawal dari pertanyaan, “Bukankah sebenarnya keduanya adalah satu kesatuan siklus utuh yang tidak terpisahkan?”

Lebih sederhananya begini. Buku yang bahan dasarnya pulp kayu ditulis oleh pengarang lalu diterbitkan oleh penerbit. Di sini terlihat jelas, bahwa pengarang dan penerbit memberikan kontribusi atas keberlangsungan dan keberlanjutan hidup pohon di muka bumi. Sekecil apa pun itu, dalam jangka waktu lama akan mempengaruhi keberadaannya. Mungkin tidak sampai punah. Minimal bisa berpengaruh buruk terhadap kelangsungan ekosistem yang di dalamnya ada pohon sebagai anggotanya. Kita tentu tidak ingin hal itu terjadi.

Berdasarkan hal di atas, selanjutnya saya berusaha menanamkan dalam pemikiran saya, bahwa kelak suatu saat saya bisa menerbitkan buku (lagi) dalam bentuk cetak, saya akan bertanggung jawab terhadap keberadaan pohon yang dipakai untuk proses pencetakan buku tersebut. Tentunya sesuai kemampuan saya.

Terlalu muluk? Saya rasa tidak. Ini masih bisa saya lakukan dengan cara menanam pohon setiap kali saya menerbitkan buku. Selain itu, saya akan meminta penerbit yang mencetak buku saya untuk melakukan hal yang sama. Semakin banyak buku terjual, kemungkinan pohon yang ditanam akan lebih banyak juga.

Bayangkan jika semua penulis dan penerbit di Indonesia memiliki pemikiran dan niat yang sama. Tentu berkurangnya pohon yang disebabkan oleh proses cetak buku bisa teratasi. Meskipun mungkin tidak akan bisa mengembalikan keseimbangan secara penuh, tetapi setidaknya akan sedikit mengurangi risiko ketidakseimbangan lingkungan. Selain itu, penulis dan penerbit tidak akan lagi terganggu oleh nada minor tentang pemanfaatan pohon kaitannya dengan keperluan pencetakan buku.

Lalu akan ada pertanyaan lain muncul. Memang bisa semudah itu? Bagaimana dengan penulis dan penerbit di kota besar yang tidak memiliki hutan atau karena satu dan lain hal tidak bisa menanam pohon sebagai pengganti ‘biaya’ cetak buku?

Gampang saja sebenarnya. Bukankah sekarang ini di Indonesia mulai banyak bermunculan penulis-penulis dari daerah? Kenapa bukan penulis-penulis itu yang diberdayakan? Lalu bagaimana caranya?

Begini. Ini hanya pilihan kedua selain penulis dan penerbit yang melakukan penanaman pohon secara langsung. Saya punya ide. Jika seorang penulis sudah menerbitkan buku lewat major publisher dan karena sesuatu hal tidak bisa menanam pohon, bisa memilih cara alternatif. Cara yang bisa ditempuh adalah dengan menularkan ilmu kepenulisan serta memberikan bimbingan dan fasilitasi penerbitan buku kepada penulis dari daerah. Tentu tidak gratis. Syaratnya adalah penulis dari daerah tersebut bersedia untuk menanam pohon di hutan, minimal bukit, di daerah mereka sebagai pengganti ketidakmampuan penulis dan penerbit. Satu batang saja untuk satu orang penulis daerah. Mudah, bukan?

Tentu tidak akan sulit. Asal ada keinginan dan niat untuk menuju ke arah kebaikan bersama. Intinya kembali pada komitmen masing-masing penulis dan juga penerbit untuk mendukung dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

Sekali lagi ini hanya opini saya pribadi yang di dalamnya terselip mimpi bersama yang menunggu untuk diwujudkan. Mari bersama-sama mewujudkan mimpi demi keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan pohon di muka bumi.

Salam hijau!

~ mo ~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *