Setelah beberapa waktu lalu saya tergelitik dengan cuitan di Twitter tentang penerbitan buku, hari ini saya kembali tergelitik dengan cuitan tentang hal lain lagi. Satu hal yang membuat saya merasa akhirnya harus menuliskan ini adalah karena cuitan tersebut secara tidak langsung tepat mengenai saya. Membaca percakapan panjang antara beberapa orang yang saya tahu kiprahnya di dunia literasi membuat saya ‘tertampar’. Lalu, cuitan tentang apa yang sedemikian kuatnya memengaruhi saya hingga menuliskannya di sini?
Cuitan yang saya maksud adalah tentang keseringan dan kedalaman tulisan seorang penulis. Salah satu cuitan yang menurut saya ‘jleb’ adalah dari Damhuri Muhammad. Beliau mengungkapkan sebagai berikut, “Ukuran pencapaian, bagi saya, bukan keseringan, tapi kedalaman.” Lebih lanjut beliau juga mengungkapkan, bahwa “Lebih baik satu, tapi menjadi artefak dalam ingatan pembaca, ketimbang banyak tapi menguap sia-sia.”
Lalu, sejauh mana cuitan-cuitan tadi berhasil menampar saya? Jelas. Sejak mulai belajar dan menekuni dunia literasi tahun 2011, saya sudah banyak menghasilkan tulisan. Dalam kurun waktu 3 tahun, setidaknya saya sudah mempunyai 396 tulisan di blog ini, sekitar 50 tulisan yang tersebar di blog lain, banyak tulisan untuk proyek menulis bersama atau pernah saya ikutkan dalam kompetisi/lomba menulis, dan 60 tulisan di buku pertama saya.
Dari kenyataan di atas, saya sendiri tidak menyangka kalau ternyata saya bisa menulis sebanyak itu. Padahal saya menulis hanya karena saya suka. Terus apa hubungannya dengan cuitan Damhuri Muhammad tersebut di atas?
Untuk cuitan pertama, saya merasa sangat tertampar. Kenapa? Iya. Saya suka makanya rajin menulis. Hanya saja belum diiringi dengan usaha yang signifikan dalam meningkatkan kedalaman tulisan. Saya akui itu, tetapi bukan berarti tidak ada sama sekali usaha. Saya selalu berusaha meningkatkan kualitas tulisan saya. Salah satunya dengan banyak bertanya dan juga membaca tulisan bagus, lalu mengaplikasikannya secara langsung dengan menulis. Hanya saja sepertinya usaha saya belum maksimal. Hal ini terbukti dari beberapa kegagalan uji kemampuan lewat lomba/kompetisi menulis yang saya ikuti.
Beruntung saya bukan seorang yang mudah menyerah. Kalah bagi saya adalah cambuk untuk menjadi lebih baik. Cukupkah itu? Ternyata belum. Semakin banyak tulisan yang saya hasilkan tidak serta merta mendongkrak kedalaman tulisan saya. Saya masih harus terus belajar. Dan, itu merupakan proses panjang yang membutuhkan waktu.
Selanjutnya untuk cuitan kedua juga berhasil menampar saya. Saya setuju dengan pendapat beliau. Memang benar adanya demikian. Bagi yang tidak peka dengan pernyataan tersebut, bisa jadi kemudian berpikiran untuk tidak banyak-banyak menulis jika ternyata tidak memiliki kedalaman. Tetapi dalam hal ini saya mempunyai sudut pandang sendiri. Meskipun saya menyadari, dari sekian ratus tulisan yang saya hasilkan (mungkin) tidak ada satu pun yang menjadi artefak dalam ingatan pembaca. Menyedihkan? Bagi saya tentu tidak. Tulisan yang tetap diingat pembaca adalah bonus dari kerja keras menuliskannya. Kalaupun tidak ada satu pun tulisan yang membekas, bukan berarti tidak ada satu pun tulisan kita yang bagus, bukan? Dari sekian banyak tulisan, pasti ada satu atau beberapa yang menurut pembaca sudah bagus, ya, minimal cukup baguslah, meskipun tidak menyimpannya dalam ingatan.
Menurut saya, setidaknya lebih baik tulisan menguap sia-sia, daripada menguap sebelum dituliskan. Apalah arti banyak ide di kepala, tapi malah dibiarkan menguap begitu saja? Sekali lagi ini menurut saya. Siapapun tentu boleh berpendapat tidak sama dengan saya.
Tidak saya pungkiri, pendapat beliau itu sangat bagus. Membuat saya sadar untuk tidak sekadar menulis sekaligus menjadi dorongan bagi saya untuk selalu berusaha meningkatkan kedalaman tulisan. Tapi, saya mempunyai cara sendiri untuk melakukannya, yaitu dengan konsisten menulis lebih baik lagi. Saya percaya, semakin banyak tulisan dihasilkan, asal disertai belajar dan usaha lebih baik dalam prosesnya, akan bisa membuat keseringan bergerak perlahan menuju kedalaman tulisan. Kalau tidak begitu, keseringan tidak akan berarti apa-apa. Sebab bagaimanapun juga, keseringan bukanlah jaminan sebuah kedalaman tulisan.
Jadi, mari rajin menulis dan menyertainya dengan usaha meningkatkan kedalamannya!
Terima kasih telah menampar saya, Om Damhuri Muhammad. *menjura* 🙂
~ mo ~
Untuk cuitan yg ke dua sangat bagus dan tentu setiap orang selalu belajar untuk menjadi lebih baik. Termasuk saya juga lahi proses belajar untuk menulis. Bagus atau kualitad tulisan menurut saya bertahap sebanding dengan seberapa sering seseorang menulis dan membaca tulisan orang lain.
Benar. Sama dengan pemikiran saya. Tetapi, jika sekadar sering menulis dan membaca tanpa usaha untuk lebih meningkatkan kualitasnya juga akan tidak ada artinya.