Aku masih sendirian di sini. Semerbak bunga kamboja menguar ke segala penjuru. Indera penciumanku mengenali harum itu sejak sepuluh tahun yang lalu aku memutuskan tinggal di sini, sendiri.
Tempat tinggalku memang tidaklah luas. Hanya petak kecil, tapi cukup nyaman. Setidaknya bagiku yang memang penyendiri. Jauh dari keramaian membuatku lebih lega. Terlebih sejak kematian istriku saat melahirkan anak pertamaku, Arion, yang saat ini kutitipkan di rumah kedua orang tuaku. Tekadku semakin bulat untuk menyepi dari riuh kehidupan dunia.
Sendiri membuatku merasa begitu menghargai riuhnya kehidupan. Hal-hal kesenangan duniawi perlahan kutinggalkan, kecuali pekerjaanku sebagai pemilik toko buku pastinya. Bagaimanapun juga aku harus terus hidup. Sendiri bukan berarti aku harus terus-terusan meratapi jalan hidup. Aku harus tetap bangkit.
Suasana di tempat tinggalku sepi, seperti biasanya. Setidaknya saat malam aku bisa menikmati sensasi desau angin dan wangi kamboja. Tidak seperti saat aku masih tinggal di apartemen mewah, dulu. Seperti halnya malam ini. Tak ada suara apa pun selain nyanyian kesedihan burung malam yang begitu menyayat. Tapi, tidak seperih hatiku saat ini.
Sepuluh tahun sendirian, memunculkan rasa kesepian yang mendalam. Hal ini membuatku menjadi lebih peka terhadap hal-hal di sekitar. Aku bisa membaca musim hanya dari dendang burung malam, bahkan aku bisa mendengar kematian hanya dari wangi bunga.
Kusandarkan tubuhku yang lelah di atas kursi kerjaku. Aku menyebutnya begitu. Sebab di kursi itu aku banyak menghabiskan waktu menikmati dunia kesendirianku lewat tulisan. Dan, menulis adalah caraku menghilangkan kepenatan rutinitas seharian di toko buku. Kuhirup aroma harum yang keluar dari secangkir kopi yang kuseduh sendiri.
“Ah! Masa lalu… .”
Mendadak aku teringat saat pertama bertemu almarhumah istriku di sebuah kedai kopi langgananku. Dia seorang pegawai bank swasta yang lebih memilih menghabiskan weekend di kedai kopi ini. Sama seperti aku.
“Sering nongkrong di sini, ya?” tanyaku berbasa-basi setelah memperkenalkan diri.
“Iya. Kamu sendiri?” Dia tersenyum ke arahku.
“Aku baru-baru aja sih. Belum lama ini, kok,” jawabku sambil mencecap kopi pesananku.
“Kalau aku, tempat ini adalah kenangan,” jawabnya yang kemudian menceritakan kenangannya bersama mantan kekasihnya yang menikah lebih dulu.
Kenangan. Iya. Kenangan. Sama seperti dirinya saat ini bagiku. Tak lebih dari kenangan yang sulit untuk ditinggalkan. Ingatan yang hampir tak bisa kutanggalkan. Sepuluh tahun sebenarnya waktu yang cukup lama bagiku untuk mengubur kenangan itu bersama jasadnya. Tapi, kadang kenyataan untuk melupakan tak semudah yang diinginkan.
Kusesap lagi kopi dari cangkir. Kali ini tidak sendiri. Ada ingatan tentang istriku menemani. Aku tersenyum saat bayangannya perlahan pergi. Diganti dengan aktivitas menyelesaikan sebuah tulisan tentang kematian.
“Ayah belum tidur?”
Suara dari dalam kamar itu mengagetkanku, suara anakku, Arion. Aku terkejut sebab kenyataannya saat ini aku sedang tidak sendiri. Astaga! Aku lupa. Saat ini adalah malam Minggu, saat bagi Arion untuk tinggal bersamaku. Kenapa aku jadi pikun seperti ini? Ah! Sepertinya kenangan dengan istriku telah menenggelamkan aku kembali ke masa lalu. Sampai aku tak sadar ada masa sekarang yang membutuhkan perhatianku, anakku.
Aku bergegas masuk ke dalam kamar. Kupeluk bocah berusia lima belas tahun berkulit bersih itu. Kuceritakan padanya tentang banyak hal indah. Dalam pelukanku, Arion tersenyum dan akhirnya tertidur pulas. Kukecup keningnya sekilas, lalu beranjak meninggalkannya sendirian.
Aku kembali berkutat dengan tulisan yang belum juga selesai. Suasana masih hening, seperti biasanya, karena memang aku tidak memiliki tetangga. Tetangga terdekat berjarak hampir seratus meter. Tanah tempat kubangun rumah ini dulunya tanah sawah yang dijual murah. Tak heran, masih banyak lahan kosong di sekitar rumahku. Beruntung di bagian samping rumah, ditumbuhi pohon jati yang lebat, sehingga saat siang rumahku tetap nyaman dan teduh.
Kuputuskan menghentikan tarian jemariku di atas keyboard. Kubaca lagi dengan teliti dan saksama.
“Sedikit lagi,” batinku sambil meraih ponsel yang tiba-tiba berbunyi di samping laptopku.
Sebuah pesan singkat masuk dari Arini, bagian administrasi di toko bukuku, kekasihku waktu SMA dulu.
“Istirahat, Mas. Jangan diforsir.”
Dengan malas aku membalas pesan singkat itu hanya dengan satu kata, “Iya.”
Kuletakkan kembali ponselku. Seketika terbayang wajah Arini. Sosok yang pernah kucintai, namun kesalahannya dulu masih membekas hingga aku memilih istriku untuk menemani kesendirianku waktu itu. Arini seorang yang tak pernah kenal lelah terus mencintaiku dari dulu sampai sekarang. Bahkan, dia sampai rela tidak menikah hanya untuk membuktikan bahwa dia sungguh-sungguh mencintaiku. Sementara bagiku, kesendirian bukanlah alasan untuk menerima kembali cinta yang pernah menyakitiku. Bagiku, Arini hanyalah masa lalu dan seorang teman, sahabat terbaik bagi Arion. Aku tahu, sebab Arion lebih banyak menghabiskan waktu dengan Arini dibanding aku saat berkunjung ke toko buku.
Aku menghela napas panjang. Kutarik tubuhku untuk menghilangkan penat, lalu beranjak menuju kamar Arion untuk memastikan tidurnya tidak terganggu oleh nyamuk atau hal lain. Kulihat Arion masih dalam posisinya semula. Tertidur memeluk guling yang baru kubelikan.
“Meskipun tanpa seorang Ibu. Aku yakin anakku akan tumbuh menjadi laki-laki yang kuat, seperti aku,” batinku sambil menutup pintu, perlahan.
Aku kembali ke kursi kerjaku. Dua jam berlalu. Kulirik jam dinding telah menunjukkan angka dua belas tepat. Aku tersentak saat tiba-tiba angin kencang menderu masuk ke dalam rumah melalui lubang pintu. Aku tahu ada yang datang. Meskipun begitu, aku tidak memedulikannya. Aku kembali larut dalam kenangan tentang kematian istriku untuk mendapatkan ruh tulisan.
Belum selesai aku menulis satu kalimat, angin mendadak berhenti. Aku terpaku saat samar-samar kudengar suara anak kecil. Tak butuh waktu lama untuk mengenali dan menemukan sumber suara itu.
” … ”
“Arion baik-baik aja.”
Tak salah lagi itu adalah suara Arion, anakku. Terdorong rasa penasaran, aku menempelkan telinga ke pintu. Tak terdengar apa-apa.
” … ”
“Arion bahagia, kok.”
Suara Arion kembali terdengar. Aku terpaku, tanpa berani membuka pintu.
” … ”
“Enggak ah. Arion pilih tinggal sama Ayah aja.”
Apa maksud Arion dengan ucapannya itu? Pertanyaan berkecamuk dalam dadaku.
” … ”
“Pengin, sih. Arion juga kadang bingung mau jawab apa saat ada temen yang nanya.”
Aku menahan napas demi mendengar kata-kata Arion. Aku tidak tahu apa yang terjadi dalam kamarnya.
” … ”
“Tapi, Arion akan dibawa ke mana?”
Deg! Aku tersentak untuk kesekian kalinya.
” … ”
“Emang ada tempat yang lebih indah dari rumah Ayah?”
Aku terkulai lemas di depan pintu. Kata-kata Arion begitu nyata hinggap di sanggurdi telingaku. Menusuk tepat ke jantungku.
” … ”
“Arion enggak percaya. Meskipun biasa saja, tapi bersama Ayah adalah keindahan.”
Aku setengah tidak percaya. Bagaimana mungkin anak berusia sepuluh tahun seperti Arion bisa berkata seperti itu. Aku masih lemas. Kali ini keningku menempel di pintu kamarnya.
” … ”
“Emang sih, Ayah jarang memberikan apa-apa. Tapi, Arion yakin, kok, kalau Ayah sayang banget sama Arion.”
Kali ini giliran indera penglihatanku yang tertusuk-tusuk. Pedih dan mendadak tergenang cairan bening.
Airmata menderas di pelupuk mataku. Aku bersimpuh di depan pintu dengan rasa tak percaya. Kedua tanganku hampir tak punya tenaga menyentuh permukaan kayu pintu itu.
” … ”
“Arion enggak papa. Arion yakin, suatu saat Ayah bisa membuat Arion bahagia dengan hadirnya seorang Ibu.”
Aku sepertinya tidak sanggup lagi menghadapi situasi absurd seperti ini. Kenyataannya aku sama sekali belum bisa membahagiakan Arion.
” … ”
“Iya. Tenang aja. Ayah itu seseorang yang hebat, kok.”
Deg! Lembing kembali menusuk jantungku. Aku merasa bersalah.
” … ”
“Pasti. Arion akan berdoa. Terutama untuk Ayah, sumber kebahagiaan Arion selama ini.”
Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Situasi ini sungguh sulit bagiku. Aku tak tahu dengan siapa Arion berkomunikasi. Bisa jadi dia hanya mengigau.
” … ”
“Arion hanya ingin melihat Ayah bahagia. Meskipun itu berarti harus melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalunya.”
Aku semakin kelu. Bahkan teriakan pun tak cukup terdengar olehku sendiri.
” … ”
“Tante Arini. Aku menyukainya. Arion yakin dia akan menjadi Ibu yang baik bagi Arion.”
Takkan kubiarkan percakapan absurd itu berkelanjutan. Aku mencoba berdiri untuk meraih gagang pintu. Usahaku gagal, aku terlalu lemah.
” … ”
“Besok Arion sampein ke Ayah. Semoga Ayah berubah pikiran dengan mau menikahi Tante Arini.”
“Arion, anakku.” Aku berbisik lemah di depan pintu.
Wusss…!
Angin kencang berhembus dari sela-sela daun pintu kamar Arion, menghilang di luar pintu ruang tamu. Bersamaan dengan itu, tak kudengar lagi suara Arion. Hening. Hanya desah napas halus dari hidung mancungnya.
Aku berusaha bangkit dari posisiku. Gagang pintu berhasil kuraih, perlahan kubuka. Tatapanku tertuju pada Arion di tempat tidur. Posisi tidurnya masih seperti semula. Kali ini ada yang berbeda di raut polosnya, senyum bahagia.
Kupeluk tubuhnya, “Maafkan Ayah, Arion.”
Arion bergeming. Masih dalam senyum bahagianya.
Kubuka mata, saat menyadari pagi telah tiba. Minggu pagi yang cerah. Pun hatiku yang membuncah. Pengalaman pertama memeluk tubuh anakku semalaman adalah penyebabnya. Damai kurasakan di hati.
Kutinggalkan Arion yang belum juga bangun. Dengan sedikit bergegas, aku melangkah ke kamar mandi, membersihkan diri. Secangkir kopi dan segelas teh manis bersisian di meja depan. Untukku dan Arion. Seperti itu seharusnya setiap pagi.
Kulihat pintu kamar Arion yang terbuka perlahan saat aku menyiapkan roti bakar selai stroberi, kesukaannya. Arion tersenyum ke arahku. Aku pun membalasnya.
Di meja depan, Arion menghabiskan roti bakar dan teh manis buatanku. Sementara aku, masih belum menyentuh roti jatahku.
“Makasih, Yah.”
“Ayah yang harus berterima kasih sama kamu, Arion.”
“Kenapa gitu, Yah?”
“Enggak papa, Arion.”
Aku menatap dalam-dalam ke bola mata bundar Arion, bola mata milik istriku. Berbinar-binar dan selalu penuh semangat.
“Ada yang ingin Arion sampein, Yah.”
“Enggak usah, Arion. Ayah udah tahu semuanya.”
“Jadi… Semalam Ayah… ?”
“Iya. Maafin Ayah, ya? Mau, kan?” tanyaku mengusap kepalanya.
“Iya, Yah. Maafin Arion juga karena udah lancang. Arion udah enggak tahu lagi harus bercerita sama siapa.”
“Udah lupain aja. Kamu udah siap, kan?”
“Hari ini Ayah mau ngajak Arion ke mana? Tempat biasa? Bosen ah, Yah.”
“Iya. Kali ini sebentar aja, kok. Enggak kayak biasanya yang sampai berjam-jam. Hanya untuk kirim doa. Kamu mau nemenin Ayah, kan?”
“Pasti dong, Yah. Terus abis itu ke mana lagi, Yah?”
“Rahasia,” jawabku tersenyum penuh makna.
Kugandeng tangan Arion ke komplek pemakaman. Tak butuh waktu lama untuk tiba di sana, sekitar tiga menit saja. Di antara batu nisan, aku menggenggam erat tangannya. Di sebuah nisan bertuliskan nama “Aryanti”, aku berhenti. Doa telah dituntaskan. Kesepakatan hati telah diselesaikan. Kini saatnya mengajak Arion ke tujuan berikutnya, mungkin tujuan akhir hidupku.
Setiba di rumah, aku mengajak Arion naik mobil tua. Kali ini, aku akan membuatnya benar-benar bahagia. Dari jendela mobil, kulambaikan tangan ke arah rumahku yang temboknya menjadi satu dengan komplek makam istriku.
Sebelum berangkat, jari-jariku lincah mengirim sebuah pesan singkat.
“Jangan ke mana-mana. Sepuluh menit lagi aku sampai di rumahmu. Bersama Arion.”
Kulirik ponselku. Satu kalimat pendek tertera di layarnya.
“Iya, Mas.”
Balasan dari Arini.
Mobil menderu menjauh dari sepi menuju keramaian yang nyata. Aku beradu senyum dengan Arion di sampingku. Aku bahagia dan sama sekali tidak pernah menyesal telah mencuri dengar pembicaraan Arion dengan ‘ibunya’, istriku. Sebab begitu, aku kembali menemukan cinta baru bagi jiwaku yang hampir mati.
***
Bacanya merinding! Keren!
Aih! Makasih apresiasinya, Mami. 🙂
aaakk!! Iyaa!! >,<
Arion lima belas tahun? kok terlalu kanak2 ya kata2nya. lima tahun kali ya mksdnya?
Oh… Gitu, ya? Terima kasih masukannya. 🙂