
“Arion… .”
“Iya, Bu?”
“Gimana kabar kekasihmu yang di Padang itu?”
Aku terdiam. Ada senyuman hangat dan tatapan yang penuh selidik darinya. Pikiranku berkecamuk menebak-nebak darimana dia tahu tentang hal itu. Bukankah selama ini kekasihku hanya tersimpan rapi di kotak tabletku? Ah! Entahlah. Aku tak lagi memedulikan itu. Satu hal yang kutahu, dia membutuhkan jawabanku. Saat ini juga.
“Aku sudah melupakannya, Bu.”
“Ibu senang mendengarnya. Memang sudah seharusnya seperti itu. Bagaimanapun juga kamu memiliki kenyataan yang harus kamu hadapi.”
“Arion ngerti, Bu.”
Siang hampir menjelang sore. Deretan batu granit di pulau Lengkuas dan tatapan teduhnya membuatku nyaman. Kurebahkan kepalaku di atas pangkuannya. Perlahan jemarinya menelusup di setiap helai rambutku. Kesukaanku sejak masih kecil saat bersamanya. Bermanja-manja. Kelopak mataku hampir saja terkatup, saat kurasakan dingin merambat di pori-pori kepalaku. Aku tak menghiraukan itu. Kenyamanan sudah terlanjur kurasakan. Ah! Inikah yang namanya surga? Menikmati sepoi berdua bersamanya?
Debur ombak memecah pantai bersama burung camar yang terbang dari atas bebatuan. Aku masih terbaring dalam pangkuannya.
“Terus sudah ada pengganti?”
“Sudah, Bu,” jawabku singkat.
“Siapa dia? Gadis mana?”
“Namanya Margreet, Bu. Dia berasal dari keluarga baik-baik. Aku mengenalnya sebulan yang lalu saat di Padang.”
“Dia sudah bekerja, kan?”
“Sudah, Bu. Margreet meneruskan usaha dagang kain orang tuanya di Palembang.”
“Syukurlah. Ibu bahagia mendengarnya. Akhirnya setelah sekian lama… .”
“Iya, Bu,” aku memotong pembicaraannya, “aku akan meminangnya. Itu juga kalau Ibu setuju.”
“Ibu percaya sama kamu, Arion. Yang penting kamu yakin dengan pilihanmu.”
Ada kebahagiaan terbaca jelas dalam setiap ucapannya. Aku paham karena saat usiaku sudah hampir 30 tahun, akhirnya aku akan bisa memberikan kebahagiaan padanya. Aku menghela napas panjang. Ada genangan di pelupuk mataku saat kedua tangannya menggenggam erat tanganku.
“Jagalah dia seperti kamu menjaga Ibu sepeninggal ayahmu dan seperti mercusuar yang kokoh menjaga pulau ini.”
“Iya, Bu. Aku janji.”
Kulihat matanya menerawang jauh ke arah pantai di sekitar mercusuar yang dibangun Belanda sejak tahun 1882 itu. Aku tahu ada harap dalam tatapannya. Aku bersimpuh dan memeluknya erat. Sesaat kemudian kurasakan ada yang berbeda. Tiba-tiba tubuhnya terguncang hebat. Kejang. Kedua kakinya menjejak-jejak pasir putih. Aku tak tahu apa yang akan kuperbuat selain memeluknya erat. Mulutku tak henti merapal doa agar tidak terjadi apa-apa padanya. Lima menit kemudian kekuatannya hilang. Sekelebat cahaya kuning keemasan memancar dari puncak mercusuar bersamaan dengan tubuhnya yang mulai lemas. Perlahan dia membuka mata.
“Arion… ,” katanya lirih menatapku penuh arti.
“Margreet… Kamu baik-baik saja, kan? Syukurlah,” kataku sambil meraih dan mengusap kepalanya.
Sore pun tiba. Mengingat kondisinya, aku memutuskan mengajak Margreet mengemasi barang-barang karena kapal sewaan sudah menunggu dan siap mengantar ke Tanjung Binga. Dan, itu artinya aku tak bisa menemani Margreet menikmati pagi kuning keemasan di pulau Lengkuas. Selain itu, aku juga tak bisa menjaga dan menemani Ibu semalaman, seperti dulu sebelum malaikat maut menenggelamkan Ibu di dasar laut yang entah.