Menapak jejak tak pernah semenarik ini. Ketertarikanku pada sesuatu membuatku tidak berpikir panjang lagi. Tadi sepulang dari surau, aku tidak langsung pulang ke rumah. Sepagi ini ada yang merayu langkah kakiku untuk bergegas mengikuti sosok itu. Setelah keluar dari kampung, tapak kakiku kini meninggalkan bekas di pematang yang masih basah. Sengaja kutenteng sandal jepit agar tidak menghambat langkahku. Setapak demi setapak kulalui sambil sesekali membenarkan letak sarung yang kukalungkan.
Di hadapanku, seorang perempuan berjalan tertatih. Mendadak rasa iba menggelayut dalam dada. Ingin menyapa, tapi tak ada keberanian. Maklum, aku belum mengenal dia sebelumnya. Dengan sedikit berjingkat aku berusaha untuk tidak sampai kehilangan jejaknya.
Tak lama sampailah dia di depan sebuah rumah di ujung pematang sawah. Rumah beratap ilalang dengan dinding anyaman bambu itu tampak sederhana dan sudah hampir roboh. Dari kejauhan, kulihat orang itu membuka pintu.
Aku bergegas mendekat dan termangu di depan pintu, berusaha mencari celah untuk bisa mengintip. Desah napas beradu dengan angin sepoi pagi. Memburu. Kedua lututku bergetar saat melihatnya duduk di dipan dengan menggenggam kain. Dia sungguh cantik.
“Masuklah!”
Suara merdunya membuat kedua pundakku sedikit tersentak. Aku tidak menjawab sementara kedua tanganku berusaha menahan lututku yang semakin kuat bergetar.
“I… I… Iya.”
Tidak pernah seperti ini. Suaraku mendadak tak selancar saat berhadapan dengan perempuan lain yang pernah kutaklukkan.
Suara pintu dari bambu berderit. Nyala obor tepat menerpa wajahku yang pucat.
“Ma… Ma… Maaf.”
“Enggak papa. Masuklah!” ajaknya ramah.
Kulangkahkan kaki menyusulnya duduk di dipan bambu. Lengkung tercipta dari bibirnya. Aku menunduk. Percakapan kedua insan berlainan jenis pagi ini begitu hangat. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Fatmawati. Percakapan dilanjutkan dengan cerita kehidupan.
“Aku kerja di sebuah kantor penerbitan. Kalau kamu?”
“Dulu aku perawat, khusus tentara. Tapi, sekarang enggak lagi.”
Aku tidak melanjutkan pertanyaan saat melihat matanya perlahan basah. Dia terdiam, sambil menggenggam erat kain di pangkuannya.
Tidak ingin terlarut, aku membuka suara, “Kain apa itu?”
Dia berusaha menghapus airmata dengan punggung tangannya, “Oh. Ini kain untuk dijahit menjadi bendera.”
“Kenapa dijahit sendiri? Kan ada tukang jahit di kampung.”
“Enggak papa. Tanggung. Tinggal dikit juga, kok. Harus segera dipasang juga soalnya.”
“Tapi hari ini, kan, bukan Hari Besar Nasional.”
“Memangnya enggak boleh?” tanyanya dengan senyuman.
Aku terdiam dan membiarkan Fatmawati menyelesaikan jahitannya. Senyumannya selalu setia menemani selama jarum menusuk kain. Aku memperhatikannya dengan saksama. Sepertinya dia sudah tidak bersedih lagi. Sesekali senyumku dan senyumnya beradu. Tutur katanya yang indah membuatku merasa sangat akrab dengannya. Bahkan, aku tidak keberatan saat dia meminta tolong untuk mencarikan bambu.
Matahari belum menampakkan diri saat dia menyelesaikan jahitannya. Kuberikan bambu basah dengan diameter kecil itu padanya, lalu dengan telaten, dia mengikatkan bendera, setengah tiang.
“Kok setengah tiang? Emang hari ini hari berkabung nasional?”
“Seharusnya,” jawabnya tersenyum sambil menancapkan tiang bendera di depan rumahnya.
“Emang berkabung dalam rangka apa, sih?” Aku semakin penasaran.
“Berkabung untuk kematianku, 71 tahun yang lalu. Kalau bukan aku sendiri, siapa lagi yang akan mengenang perjuanganku.”
Deg!
***
Berdasarkan #topikfiksimini hari Senin tanggal 10 Juni 2013: BENDERA SETENGAH TIANG.