“Kembali!”
Aku tak memedulikan teriakannya. Langkah kakiku terus semakin mendekat pohon cemara di tepi jurang. Di sana, kekasihku telah menunggu.
“Jangan pergi!”
Suaranya masih terdengar jelas, meskipun desau angin juga terdengar keras. Aku yakin dia tidak akan berani menyusulku. Terbukti, tak ada langkah kaki mendekatiku.
“Aman!”
Kupercepat langkahku dan akhirnya tiba di tempat tujuan. Sepi. Kosong. Kekasihku tidak ada di sana. Padahal sengaja pagi-pagi aku ke sini. Bahkan, aku sampai tidak sempat menyentuh sarapan dengan lauk pindang kesukaanku.
“Sialan!”
Aku mencoba menyusuri tepi jurang yang dalam itu. Kulongok sejenak ke bawah. Banyak batu-batu besar di dasarnya. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika aku terjatuh. Mataku nanar melihat sekeliling.
“Hei!”
Orang itu lagi. Dia menyapaku. Membuatku terkejut. Kubuka mataku lebar-lebar ke arahnya. Aku menggeram. Dia datang begitu saja menggendong kekasihku. Pertama kalinya aku merasakan cemburu.
“Apa yang mereka perbuat? Kenapa mereka bisa berdua?”
Tak ada pembicaraan aku dan dia. Kami sama-sama membisu. Hanya pertanyaan-pertanyaan berkecamuk membangkitkan amarah yang lebih dulu hadir membutakan kedua mataku. Aku semakin muak saat melihatnya tersenyum penuh kemenangan ke arahku.
Ini tidak bisa kubiarkan. Aku harus merebut kembali kekasihku. Tapak kakiku menapak batu hendak menerjangnya. Tapi, kekurangan asupan energi mendadak membuatku lemah dan pandangan kabur. Tanpa kusadari batu yang kupijak runtuh. Aku tergelincir ke jurang dan jatuh.
Di dasar jurang aku mengerang kesakitan. Sekarat. Aku berusaha menerima takdir. Daripada hidup tanpa kekasih, mungkin ini jalan terbaikku. Perlahan, kelopak mataku tertutup rapat. Nyawaku pun melayang hendak menuju surga.
“Ah! Enggak papa. Toh, aku masih punya delapan nyawa cadangan,” batinku sambil mengibaskan perlahan ekorku yang belang-belang. Itu artinya nyawa keduaku siap mengambil alih tugas nyawa pertama.
***
Ditulis berdasarkan #topikfiksimini hari Selasa tanggal 11 Juni 2013: TERGELINCIR.