[Prompt #14] ~ Gadis Salju Merah

Foto: Dokumentasi pribadi Kartika Kusumastuti

Foto: Dokumentasi pribadi Kartika Kusumastuti

Desau angin basah membuat butir-butir putih terbang dari pucuk daun konifer. Jatuh tepat di atas genting rumah penduduk. Tak terkecuali rumahku.

Pagi tak lagi akrab dengan matahari saat aku bangun. Rumah sepi. Kedua orang tuaku entah ke mana sepagi ini. Aku bergegas pergi. Satu tujuanku, menemui kekasihku.

Jejak kakiku meninggalkan bekas di halaman. Jelas. Tanpa ragu aku menuju gerbang desa. Sepanjang jalan yang kutemui hanya sepi. Hampir tak ada tanda-tanda kehidupan.

Aku terus melangkah. Kutemukan keganjilan saat melewati rumah tetua desa. Ramai, tak seperti biasanya. Keinginan bertemu membuat langkahku semakin cepat tanpa memedulikannya. Dengan mengendap-endap, aku berhasil keluar gerbang desa.

Tak butuh waktu lama untuk melewati hutan cemara. Sampai akhirnya, jejak tapak kakiku berhenti di sebuah pohon konifer. Di sana, kekasihku telah menanti. Aku langsung menghambur ke dalam hangat peluknya. Dengan tangannya yang kekar, dia meraihku. Hangat menjalar di setiap aliran darahku. Terlebih saat kurebahkan kepala di dada bidangnya. Bulu dadanya yang lebat adalah tempat ternyaman menuntaskan rindu.

“Kamu baik-baik aja, kan?”

Kekasihku membisu. Dari detak jantungnya, aku tahu dia sedang tidak tenang. Ini untuk kesekian kalinya aku melanggar larangan Ayah untuk menemui kekasihku. Sejak tahu, Ayah tidak menyetujui hubunganku.

Kekasihku menundukkan wajah, saat aku berusaha menciumnya. Belum sampai bibirku menyentuh bibirnya, kudengar suara ranting patah diinjak.

“Jangan bergerak!”

Aku dan kekasihku tersentak. Aku menarik tangannya agar dia mengurungkan niatnya untuk mendekat.

“Lari!” teriakku.

“Percuma! Kalian sudah dikepung.”

Mendadak puluhan laki-laki dewasa muncul dengan senjata berburu siap tembak dan juga senjata tajam. Aku terduduk di bawah pohon dengan bibir membiru yang bergetar saat kekasihku meninggalkanku. Kuremas-remas ujung mantelku.

Kekasihku bergerak maju. Warga desa bergerak mundur. Dua orang yang bertahan terpelanting oleh pukulannya.

“Tembak!” seru tetua desa.

Berondongan peluru tepat menembus jantungnya.

“Bruk!”

Kekasihku ambruk. Dari kejauhan, aku menjerit berlari ke arahnya dengan airmata tak terbendung. Kutubruk tubuh kekasihku yang terkapar. Sekarat. Darah segar merembes ke hamparan putih.

Suara tertawa penuh kepuasan membahana. Mereka bersuka cita di atas kesedihanku.

“Kenapa kalian lakukan ini? Kenapa?!” Aku menjerit histeris.

“Sekarang kamu pergi, Adellia! Kamu sudah melanggar adat desa kita. Kamu bukan anakku lagi!” Kali ini Ayah yang angkat bicara.

Beberapa orang bertubuh kekar menyeretku menjauh. Airmataku semakin deras. Bekas seretan tampak jelas di permukaan. Aku meronta, tapi tak kuasa. Mereka melepasku saat berada jauh di lingkaran pengepung. Mereka meninggalkanku.

Aku tak tinggal diam. Aku bangun lalu berlari sekuat-kuatnya menuju desa tertutup salju, tempat tinggal kekasihku.

Sesampai di sana, kukabarkan berita itu. Semua sepakat mencegat di gerbang desa untuk mengambil mayat kekasihku untuk dimakamkan secara layak. Benar. Dengan kemampuan yang dimiliki, mereka membawaku tiba lebih dulu di gerbang desa.

Tak lama, warga desa tiba. Mereka terkejut dengan kedatanganku dan teman-teman kekasihku. Peperangan tak dapat dihindarkan. Adu pukul dan adu tendang tak terelakkan. Tapi, mereka bukanlah lawan yang sepadan dengan teman-teman kekasihku. Dalam sekejap mereka terkapar. Termasuk ayahku. Darah segar tumpah.

Aku menang. Perlahan mereka meninggalkan gerbang desa, melewati lautan salju merah. Aku terguncang saat tubuhku dan kekasihku dibawa ke desa tertutup salju, dunianya, oleh sekawanan Yeti, kaumnya.

“Selamat tinggal, Ayah, Ibu.”

(mo)

0 Comments

  1. beda kasta? artinya ayah Adelia menganggap kalau Yeti itu sama jenis dengan mereka, kan? manusia juga seperti mereka. Kalau keterangan mengenai ‘ketidaksetujuan ayah’ tidak diceritakan, justru akan lebih bagus, sebab pertanyaan yang menggantung di benak pembaca mengenai ‘kenapa sih nggak disetujui?’ akan terjawab tuntas di akhir kisah. Salam. 🙂

  2. Kirain temennya si Jacob 😀 eh ternyata Yeti hehehe nice twist mas..diksinya baguuss..

    Dikit koreksi,ada pengulangan kata untuk :
    ‘Semua sepakat mencegat di gerbang desa untuk mengambil mayat kekasihku untuk dimakamkan secara layak. ‘
    Menurutku :
    Semua sepakat mencegat di gerbang desa untuk mengambil mayat kekasihku, lalu dimakamkan secara layak. *imo mas*

    1. Rin… Terima kasih. Ini juga udah diedit untuk kesekian kalinya dari masukan temen-temen.

      Btw, aku bukan pilot! 😀
      Ayo kita terbang! Lhah?!

      1. Aku pernah denger Yeti. Tapi itu nama kakak kelasku. Pas googling baru tahu kalau Yeti itu makhluk berbulu putih yang mirip kera. Halah.. Kemana aja saya ini.. 😀

          1. Tapi aku merasa karena enggak komen setelah speechless duluan. Aku kan sensitif kayak test pack. Hahaha.

          2. katanya sensitif kayak test pack. Asal nggak keluar 2 garis berarti aman. #halahdibahas hahahhaa

    1. Hahaha. Kalau tidak ngasih kritik ya setidaknya masukan untuk perbaikan. Pasti ada, kok, yang harus diperbaiki. *ngelunjak* Hahaha.

  3. wow! keren mas. masuk ke cerita awalnya aja udah bikin tertarik. makin baca makin seru. sebenernya udh kepikiran pacarnya ini pasti mahluk apa gitu. tapi ga kepikiran kalo yeti. hauuu. endingnya keren deh. lautan salju merah. 🙂

  4. Pas membahas bulu dada yang lebat itu udah kepikiran pasti itu suatu makhluk. Tapi awalnya kirain Gorila. Ternyata Yeti ya… 😀

  5. wah rupanya ama Yeti toh :mrgreen:
    Pantesan ada kalimat “Bulu dadanya yang lebat adalah tempat ternyaman menuntaskan rindu.”
    Jempol deh ceritanya :mrgreen:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *