Sri menimang-nimang tas branded itu. Bentuknya cantik sekali. Terbuat dari kulit sintetis yang diemboss berwarna putih dengan aksen kulit sintetis bertekstur kulit ular. Berkali-kali dia menimang lalu menaruhnya kembali, lalu kembali mengambil dan menimangnya lagi. Pikirannya kacau.
Sri teringat pembicaraannya dengan lelaki seumuran dia yang masih dicintainya lewat telepon semalam. Lelaki yang selama ini membantu segala keperluan ibunya.
“Pulanglah! Aku akan membantumu.”
Akhirnya, dia memantapkan niat untuk menemui Ranto, suaminya. Setelah dua puluh tahun hidup bersama, Sri termasuk istri penurut. Setiap mau ke mana-mana dia pasti meminta izin suaminya. Termasuk hari ini. Sri melangkah keluar rumah menuju kantor Ranto. Ada bayangan ibunya yang renta di pelupuk matanya. Dia bergegas masuk mobil dan tak lupa membawa tas itu.
Tak sampai setengah jam, Sri tiba di sebuah kantor percetakan terbesar di kotanya. Dia memencet tombol dan lift bergerak pelan menuju lantai 5. Lantai teratas, tempat ruangan suaminya berada. Dia tidak ingin membuang waktu lagi. Keputusannya sudah bulat. Bergegas dia menjejak lorong menuju ruangan suaminya begitu pintu lift terbuka.
“Sibuk, Mas?”
Ranto mendongakkan kepalanya. Keningnya berkerut dengan mata membelalak ke arah Sri.
“Kok mendadak ke sini. Ada apa, Sayang?” kata Ranto meraih tangan Sri untuk duduk di pegangan kursi kerjanya.
Sri menuruti kemauan suaminya. Dia duduk dengan memiringkan tubuhnya. Kedua tangannya tak lepas dari tasnya.
“Aku mau izin pergi, Mas.”
“Kamu mau ke mana siang-siang gini?”
“Ke kampung, Mas. Aku kangen Ibu sama Lik Manto. Pasti mereka sudah menungguku.”
Ranto tak bisa mencegah kemauan Sri. Toh selama ini Sri tidak pernah berbuat macam-macam tanpa sepengetahuannya.
“Biar Pak Min yang nganter kamu.”
“Enggak papa, Mas. Aku sendirian aja. Udah ada yang setia menemaniku di dalam tas ini. Anakku.”
“Sri… Maksud kamu apa?”
Sri membuka tasnya. Dari dalamnya dia mengeluarkan sebuah boneka. Ranto terkesiap lalu menundukkan kepalanya di atas meja. Dengan bersandar pada kedua tangannya, dia menuntaskan segala isi hatinya. Perlahan dia menyeka airmatanya.
“Maafin aku, Sri. Tapi, enggak gini caranya. Eling, Sri! Eling! Itu boneka.”
“Aku enggak peduli, Mas. Seenggaknya ada yang menemaniku selama kamu sibuk ke kantor.”
Dada Ranto semakin sesak. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Dalam hati kecilnya dia menyerah seandainya Sri akan meninggalkannya. Segala usaha tak pernah membuahkan hasil.
“Aku pergi, Mas.”
Ranto melepas kepergian Sri dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin terjadi apa-apa dengan Sri. Terlebih kondisi psikologisnya saat ini. Beberapa psikiater belum bisa menyembuhkannya.
Brak!
Pintu ruangan ditutup dengan keras oleh Sri. Ranto tidak berusaha mengejarnya. Tak ada lagi harapan untuknya. Sia-sia.
Sri tiba di area parkir mobil. Pak Min disuruhnya pergi dengan selembar uang kertas seratus ribuan. Sebelum menjalankan mobil, Sri membuka tasnya. Dikeluarkannya secarik kertas bertuliskan alamat. Dia meluncur menuju alamat tersebut. Di hotel itu telah menunggu seseorang yang siap membantunya untuk memiliki seorang anak, Lik Manto.
(mo)
Ini prompt-nya kan si tas putih itu. Kalau seperti ini, jadinya si tas putih hanya jadi sampiran aja, bukan topik utama. IMHO
Jadi mikir, Lik Manto bisa bantu apa ya?
Aku hanya ingin membebaskan imajinasiku dengan menulis apa yang ingin aku tulis. Kalaupun tidak sesuai prompt, bagiku pribadi tidak masalah. Prompt hanya sebagai ide dasarnya saja. Bukan untuk membatasi. So, sepertinya tidak masalah juga, sih, kalau mau aku kembangkan menjadi seperti apa. Toh, aku menulis untuk bersenang-senang, jadi kenapa harus terbebani dengan prompt yang ada. Itu menurut aku, lho, ya. 😀
Dua orang berlainan jenis bertemu di sebuah kamar hotel dengan tujuan untuk memiliki anak, kira-kira apa yang mereka lakukan? Bisa jadi jual-beli bayi, bisa jadi… Ah sudahlah. Terserah pembaca menyimpulkan saja. 😀
Iya mazmo. Saya juga berpikir demikian. Prompt hanya sebagai pemancing untuk bisa menuangkan ide-ide yang muncul di kepala setelah melihat/membaca prompt, menjadi sebuah tulisan. Dan semakin banyak dilempar prompt semakin nambah tantangannya. Termasuk masalah sampiran dan keringkasan cerita. Tapi semua dikembalikan lagi ke kita masing-masing.
Kalau saya pribadi, dengan adanya prompt membantu saya menghalau writer’s block.. 😀
Tetap semangat!
Nah! Aku setuju banget itu! Sama dengan pemikiranku. *toss* 😀