Plak! Plak! Plak!
Selesai. Santapan penutup malam ini telah kutunaikan. Seperti biasa, senyuman menghias wajah selepasnya. Seringai semakin terkuak lebar. Gigi-gigi tidak lagi bergemerutuk menahan. Bebas. Semakin membuncah saat menyaksikan dua orang berpelukan dalam pasrah. Keduanya tampak payah di sudut kamar yang basah. Bukan oleh banjir, tetapi keringat dan air mata yang terus mengalir.
Mungkin kau bertanya-tanya siapa kedua orang itu, bukan? Lihatlah! Salah seorang dari kedua orang itu adalah perempuan berambut panjang. Saat ini masai kelihatan. Sedangkan seorang lagi adalah anak lelaki tanpa baju berusia delapan tahun berambut ikal. Mereka adalah istri dan anakku.
Mereka masih meringkuk berpelukan saat aku beranjak pergi. Jangan kautanya ke mana aku pergi. Aku hanya pergi sebentar ke gudang. Sepanjang perjalanan ke belakang, kedua tanganku selalu berusaha mencari pegangan. Hingga akhirnya, aku berhasil juga mencapai tempat yang kutuju. Sebuah ruangan remang-remang dengan berbagai peralatan dan barang-barang yang sudah tidak digunakan. Kulkas yang lepas pintu atasnya, tumpukan kardus, kursi malas yang patah sandarannya, dan sepeda mini tanpa rantainya.
Kau bertanya kenapa sepeda mini itu tidak ada rantainya? Iya. Saat ini rantainya sedang kugenggam. Baru saja kukenalkan pada dua tubuh berbeda ukuran yang selama ini menemaniku dalam keterpurukan. Bukan tanpa alasan. Mereka hanyalah pelampiasan atas ketidakmampuanku membahagiakan mereka. Sebagai suami dan ayah, aku gagal. Bukan tanpa sebab. Akulah penyebab semua ini terjadi. Kehilangan pekerjaan setelah toko bangkrut membuat darahku setiap saat menggelegak. Keberhasilan menjadi pegawai pabrik pun hanya sementara. Sebab setelahnya, tepatnya seminggu yang lalu, aku menjadi salah seorang pegawai pabrik yang kena PHK sepihak. Lebih lebur lagi saat kenyataan posisi perempuan berambut panjang kini lebih tinggi satu derajat di atasku. Meskipun hanya penjual gorengan kecil-kecilan di pasar, jelas lebih baik daripada pengangguran. Bukannya bangkit, tetapi aku lebih memilih membenamkan luka pada kenyataan pahit.
Seperti malam-malam sebelumnya selama seminggu ini, tadi sepulang dari meneguk gelas demi gelas penghilang kesadaran, aku menemui lelaki kecil berusia belasan.
“Saya tidak punya uang, Paakkk!”
Tangisan bukan halangan bagiku untuk memberikan tamparan, pipi kiri dan kanan. Setelahnya menarik paksa bajunya, lalu memberikannya cambukan di sekujur badan. Dalam beringas dadaku semakin panas.
“Saya tidak punya uang, Paakkk!”
Sekali lagi. Kali ini tangisan dari bibir yang berbeda. Bukan lelaki usia belasan, tetapi perempuan berambut panjang. Aku semakin ganas. Cambuk pun berpindah ke punggung perempuan yang mendekap anaknya, anakku juga.
Kau tahu, kan, cambuk yang kugunakan tadi? Benar. Rantai sepeda mini. Warisan dari kakekku. Bukan itu saja, termasuk ritual yang kulakukan juga.
Saat ini aku tidak tahu keadaan mereka. Aku juga tidak ingin memikirkannya. Aku hanya terpaku dan berusaha fokus menatap rantai sepeda mini yang tergantung di depanku. Salah satu anak rantainya mendadak menjelma seorang lelaki tua, ayahku. Sementara aku, bukan lagi aku yang sekarang. Tubuhku menyusut hingga seukuran anakku sekarang. Hei! Kau tahu kalau sebenarnya aku tidak menyusut? Syukurlah. Setidaknya kau paham kalau sosok yang menyusut itu adalah aku di masa lalu saat aku seusia anakku.
Bukan itu saja. Ayahku tidak diam setelahnya. Bergerak pasti dan melangkah mendekati. Sesaat setelahnya, rantai sepeda mini menjerat leherku. Aku berontak berusaha melepaskannya. Tepat saat sebelum napas terakhir terlepas, lilitan rantai tak lagi buas. Di depanku berdiri seorang lelaki bengis. Aku sangat mengenalinya dan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Ampuunnn, Yaahhh! Saya akan belajar…”
Dia tidak peduli dengan tangisan. Pun jerit kesakitan. Dia selalu tahu kalau ibu selalu memberiku lebih uang saku. Sebagian sengaja kusimpan untuk persiapan membeli barang kesenangan. Sebagai warga keturunan, ibu selalu mengajarkan untuk berhemat. Tetapi, pelajaran itu tidak pernah aku kirimkan kepada diriku hingga masa depan. Waktu telah mengubahku menjadi berkawan dengan kerakusan dan kesenangan berlebihan. Bukan salah ibu, tetapi salahku. Kesalahan tersebab harta yang bergelimangan.
Harta kekayaan yang akhirnya menyebabkan aku menjadi berkawan dengan kemalasan belajar. Selanjutnya kau sudah tahu, bukan? Aku menjadi sasaran kemarahan. Hampir setiap hari. Ketika ayah pulang malam hari dengan aroma wisky. Suara rantai sepeda mini pada tubuhku selalu saja menjadi lagu wajib pengantar tidurku. Aku rasa bukan tidur yang sebenarnya. Sebab sakit lebih dulu membuatku terjaga.
Plak! Plak! Plak!
Rantai sepeda mini mendarat lagi. Kali ini dengan lebih menjadi-jadi. Aku lelah dalam kepasrahan. Sementara ibu tidak pernah memiliki kesempatan. Dia lebih dulu merasakan. Alasannya karena dia selalu memberikan perlindungan. Sebagai seorang pemilik toko besar, ibu memang banyak memiliki simpanan kekayaan. Tetapi, aku tahu kalau ibu sudah merencanakan dengan matang. Semata-mata demi masa depanku. Meskipun begitu, dia tidak pernah memberikan uang berlebih pada ayah untuk berfoya-foya. Sebab itu, ayah sering menyiksanya.
Kadang aku dan ibu sering berbincang tentang segala kejadian. Bahkan, pernah suatu hari ibu sengaja menghilangkan rantai sepeda mini, tetapi sepertinya memang tempatnya di sini, di rumah ini. Tiba-tiba dia kembali. Tidak sendiri tentunya, tetapi terikat kuat di tangan ayah. Selanjutnya kau tahu apa yang terjadi, bukan? Tidak perlu kuceritakan.
Satu hal yang mungkin kau harus tahu, saat suatu hari ayahku sedang memukuliku dengan rantai sepeda mini. Tanpa dia sadari, aku merekam kata-kata yang diucapkannya.
“Dengan rantai sepeda mini ini, kakekmu mengajar Ayah untuk mandiri. Hingga bisa menjadi seperti sekarang ini.”
Aku hanya bisa menahan tangisan. Hingga kemudian dalam hitungan detik, rantai sepeda mini menggiringku menuju meja belajar. Rumus matematika, deretan aksara, formula fisika sederhana, dan ayat-ayat suci menjadi bacaan dan latihan. Begitu seterusnya, membekas hingga aku lulus sekolah menengah pertama. Tidak itu saja, ternyata sisa-sisa rantai sepeda mini di tubuhku tidak bisa hilang begitu saja. Bahkan hingga dewasa membawaku pada fase berkeluarga.
Aku telah menjadi bagian rantai sepeda mini yang terus memanjang tidak terputuskan dengan kakek buyutku sebagai mata rantai pertama. Kemudian lanjut ke kakekku, ayahku, aku, dan anak lelakiku. Mungkin kelak juga akan aku wariskan pada cucu-cucuku.
Kesadaran membangunkanku dari ingatan masa lalu. Cahaya matahari mengintip dari celah-celah jendela berterali besi. Kedua kelopak mataku tidak lagi bertemu. Keduanya kembali terpisah bulatan yang bernama kornea mata. Aku bangkit meninggalkan gudang, lalu kembali ke rumah hendak cuci muka lewat pintu belakang.
Sepi. Minggu pagi seperti ini, seminggu yang lalu ruang keluarga dipenuhi tawaku bersama anak dan istri. Kami bertiga biasa menghabiskan waktu menonton televisi kecil, satu-satunya kekayaan yang tersisa, di ruangan hangat itu. Pagi ini berbeda. Keheningan kini kudapati. Tidak ada tawa ataupun bisikan-bisikan mesra di sela-selanya. Aku sendiri. Termangu dan meradang di kusen pintu belakang.
Tapak kaki mengajakku melangkah menuju sebuah kamar. Semalam, mereka berdua kutinggalkan dalam keadaan terkapar. Tidak kutemukan siapa pun di kamar itu. Hanya lemari kosong terbuka begitu saja. Retina mata tidak menangkap bayangan manusia di sudut kamar. Seharusnya mereka berdua di sana.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur kapuk berlapis kain merah bergaris-garis putih. Kedua tanganku terentang bergerak turun naik dalam rabaan. Seharusnya di kanan ada tubuh istriku dan di kiri ada tubuh anak lelakiku. Kosong hinggap di relung dada melahirkan air mata, dalam waktu yang lama. Tidak ada lagi tawa mereka berdua yang mengisinya. Kau pasti bisa menebak ke mana mereka berdua. Iya. Mereka meninggalkanku, diam-diam.
Kugerakkan tubuh ke kamar mandi lalu membersihkannya. Mungkin sudah terlambat, tetapi menurutku selalu ada waktu untuk memperbaiki kesalahan. Ashar menjelang ketika aku berniat untuk sembahyang. Hingga akhirnya aku kembali merasa tenang dan memutuskan meminta maaf pada anak dan istriku.
Aku tahu ke mana harus mencari mereka, ke rumah mertuaku. Tetapi, sebelumnya ada yang harus kulakukan. Kau mungkin sudah bisa menebak dari mula sebelumnya. Aku hanya ingin memutuskan mata rantai sepeda mini di gudang terlebih dahulu. Dengan begitu kelak tidak akan kuwariskan pada cucu-cucuku.
~ mo ~
Bener! Terima kasih apresiasi, kunjungan, dan koreksinya. Ngeblognya via WP for BB, jadi agak terbatas pas proofreadingnya, layarnya kecil. 🙂
Rantai sepeda dalam cerpen ini adalah suatu kejadian yang berulang, secara turun temurun dilakukan. Dengan kata lain warisan dalam bentuk kekerasan akibat dari keputusasaan menghadapi persoalan hidup yang dialami. Bukan begitu mas? Boleh koreksi sedikit, ada pemborosan kata dalam kalimat : ” Begitu seterusnya hingga membekas hingga aku lulus sekolah menengah pertama”. Mungkin akan terlihat lebih simple jika menjadi : “Begitu seterusnya, membekas hingga aku lulus sekolah menengah pertama”. Secara keseluruhan, ceritanya bagus. Kalimat yg membuat saya merasa tertarik hingga membacanya berulang ialah : “Tubuhku menyusut seukuran anak ku sekarang. Hei!Kau tahu kalau sebenarnya aku tidak menyusut? Syukurlah”. Sebuah cerita memang membawa pembacanya tenggelam pada alur kisah yang di sajikan, dan pada kalimat diatas, saya merasa penulis juga mengajak pembacanya berkomunikasi satu arah, tercermin dari kalimat “Hei!Kau tahu kalau sebenarnya aku tidak menyusut? Syukurlah. Demikian komentar saya, semoga bermanfaat… 🙂
Ehehe… Makasih masukannya, Pah. Segini aja otak sudah duluan ngebul pas tadi nulis, Pah. 🙂
ow begitu, Mas 🙂 kurang lebih aku juga nenangkap ceritanya seperti itu.
mungkin sedikit saran: perumpamaan rantai kekerasan pada keluarga yang diceritakan dengan rantai sepeda mini, sudah bagus. kenapa? karena bisa saja, memang rantai itu yang dipakai betulan oleh si tokoh cerita [sadis bener sih hehehe]. nah, selanjutnya, sebaiknya menceritakan gimana kronologi kejadian kekerasan dan upaya si tokoh untuk memutuskan ‘rantai’nya.
kurang lebih gitu, mas. karena kalau boleh aku reka [dan agak asal sih hehehe] -+ 80% cerita isinya perumpamaan semua [maaf kalau salah], sehingga membuat pembaca agak sulit mencerna kejadian ceritanya [aku sih tepatnya hehehe :D].
Intinya usaha seorang lelaki yang akhirnya memiliki kesadaran untuk memutuskan rantai kekerasan pada anak dalam keluarganya yang turun-temurun. Dalam hal ini diwakilkan dalam bentuk rantai sepeda mini. Kurang lebih kayak gitu, Pah. Tapi, entahlah…
Mas Mo, aku kurang mengerti jalan ceritanya. cerita ini sepertinya emosional sekali, tapi karena mungkin terlalu lepas, aku jadi berat sekali menangkap runut jalan ceritanya.