.:. RATRI .:.

Sumber: http://kurakurahitam.files.wordpress.com/2012/04/uang-21.jpg

Sumber: http://kurakurahitam.files.wordpress.com/2012/04/uang-21.jpg

“Aman.”

Aku mengedarkan pandangan. Di luar, aku berdiri di depan kotak kaca berisi uang. Tanganku hendak mengangkatnya. Batal. Seorang lelaki muda muncul. Dia tersenyum. Tak asing. Dia melewatiku dan duduk di bangku kayu.

“Lupa, ya? Udah lama kita enggak ketemu sejak kamu tiba-tiba ngilang. Kamu baik-baik aja?”

Aku mengangguk.

“Duduklah!”

Aku bergeming. Dia meyakinkanku untuk mendekat. Aku pun luluh. Bagaimanapun juga, aku pernah bersamanya dalam keindahan.

Kenangan membawaku duduk di sampingnya. Tangan kanannya melingkar di pundakku. Getaran menjalari tubuh mungilku. Pelukannya mengingatkanku saat pulang bekerja pada malam hari. Dulu. Kehangatan yang menghapus kepenatan.

Aku diam. Kepergianku telah membuatnya meninggalkan kemewahan, hingga akhirnya dia menjalani hidup seperti sekarang, di tempat ini.

“Kamu masih kayak dulu,” katanya mengelus punggungku.

Sederhana, tapi bermakna. Berbeda dengan kondisiku sekarang ini. Ada keinginan untuk kembali padanya.

“Maaf udah ninggalin kamu, Gas. Aku terjebak seorang lintah darat dan enggak tahu cara ngabarinnya ke kamu.”

“Kamu bahagia?”

“Bagas… Jujur aku akan lebih bahagia jika bersamamu. Sebab kamu lebih bisa mengerti kebutuhanku. Sementara dia enggak. Aku bisa lepas darinya kalau kamu memperjuangkannya. Mau?”

Bagas terdiam. Pandangannya kosong ke arah terminal yang ramai. Aku menggenggam erat tangannya dengan jari-jari kecilku untuk meyakinkan, bahwa aku layak diperjuangkan.

Di bawah temaram lampu depan, mata Bagas sembab. Dia berusaha melepaskan genggaman tanganku. Sekarang air mukaku yang berubah, menunduk dengan mata basah.

“Maafin aku, Ratri. Aku udah bahagia dengan hidupku yang sekarang. Sederhana, tapi seenggaknya bermanfaat untuk orang lain. Aku bukan Bagas yang dulu,” katanya sambil membetulkan letak peci hitamnya.

“Maafin aku juga, Gas. Kamu mau, kan?”

“Iya. Tapi, dengan syarat jangan pernah mencuri kotak amal untuk Tuanmu. Mau?” katanya mengelus kepala licinku.

Aku mengangguk lalu menghilang dari tempat beraroma tipis urine dan kotoran manusia itu. Kini saatnya aku bekerja untuk tuanku lagi, mencuri, sebagai takdir sepanjang masa, bagiku dan makhluk sebangsaku.

~ mo ~

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *