KRIIIINNGGG!!
Perempuan itu mengambil ponsel setelah nada deringnya hampir membuat jantungku copot, “Halo?” sapanya dengan suara yang dibuat-buat. Seingatku dia tidak pernah berkata selembut itu terhadapku.
“Beres, Bos…
Jalan Angkasa?
Iyaaa, aku ingat.
Sepuluh juta.
Oke, deal, ya. Kamar 263, jam sembilan, sepuluh juta, dijamin perawan ting-ting.”Setelah meletakkan ponselnya perempuan itu berbalik dan memelototiku, lalu mengulang kata-katanya tadi, “Kamar 263, jam sembilan, sepuluh jeti, perawan kan lo?” Aku diam.
“Heh denger, gak? Pelanggan pertama, jangan macam-macam! Masih mau lanjutin sekolah, kan?” Aku mengangguk cepat, “Iya, Ma.”
Hati kecilku masih tidak percaya dia sanggup melakukan ini terhadapku, anaknya sendiri.
Flash fiction di atas adalah tulisan @metamocca dalam #FF100Kata tema kedua ‘Perawan’. Tulisan asli ada di sini.
Langsung saja disimak reviewnya di bawah ini, yuk!
Pembukaan
Sudah cukup menarik dan suara dering telepon membuat pembaca penasaran. Pembaca dibuat bertanya-tanya, telepon dari siapa, isi percakapannya apa, dll. Hanya saja, kalimat berikutnya membuat pembaca bingung. Ada sesuatu yang tidak logis di sini.
Ide Cerita
Cerita yang mengangkat isu perdagangan anak ini merupakan ide yang menarik. Terlebih di zaman sekarang ini, isu seperti ini sedang hangat diperbincangkan (lagi). Hanya saja penceritaannya masih tanggung karena tidak menyinggung dampak perbuatan ibu pada ‘aku’. Dimaklumi, sih, karena keterbatasan kata.
Diksi
Pemilihan kata yang digunakan standar. Tidak ada pemakaian kata yang puitis mendayu-dayu atau kata yang jarang digunakan. Untungnya cerita mengalir dengan menggunakan kata-kata yang tepat dan efektif sehingga tidak mubazir, kecuali pemakaian beberapa kata yang membuat kalimat menjadi rancu.
Twist
Twist ada. Terasa menyentuh saat anak menjawab. Akan terasa lebih ‘deg’ sebenarnya jika tidak ada kalimat terakhir yang mubazir. Kenapa? Karena jawaban, “Iya, Ma.” sudah bisa menunjukkan, bahwa ‘aku’ di sini adalah anaknya si ibu.
EYD
Kalau tidak ada yang terlewat oleh mata saya, EYD dalam cerita ini sudah cukup rapi, kecuali penulisan kalimat yang rancu. Hal ini ditunjang dengan tidak adanya kesalahan dalam penulisan (typo).
Logika Cerita
Membaca paragraf setelah bunyi dering telepon membuat saya berpikir keras. Saya merasa ada logika yang patah di sini. Ibu mengangkat telepon dan menjawab, “Halo.” Lalu ‘aku’ merasa heran dengan perubahan cara bicara ibu pada ‘aku’ yang tiba-tiba menjadi lembut. Patahnya di mana? Ibu sedang berbicara dengan siapa di telepon? Apakah dengan ‘aku’? Oh… Ternyata tidak. Ibu sedang bicara dengan seseorang yang dipanggil ‘Bos’. Terlihat pada percakapan di bawahnya.
Nah! Jika demikian keadaannya, lalu kenapa ‘aku’ bisa merasa, bahwa cara bicara Ibu berubah menjadi lembut? Atau mungkin maksudnya di sini, ibu berbicara lembut dengan penelepon dan tidak pernah seperti itu pada ‘aku’? Kalau memang yang dimaksud demikian, berarti kalimat ini ‘Seingatku dia tidak pernah berkata selembut itu terhadapku.’ menjadi tidak pas. Seharusnya diganti kalimat lain yang bisa menunjukkan situasi yang ada dalam cerita. Misalnya, ‘Berbeda jauh dengan saat dia berbicara padaku.’ Dengan begitu akan menjadi jelas, bahwa cara ibu bicara pada penelepon dan ‘aku’ berbeda.
Catatan:
1. Bisa dipanjangkan menjadi sebuah cerpen dengan menceritakan lebih detail lagi proses awal kejadian sampai perubahan yang dialami tokoh, ibu dan anak;
2. Perlu diperhatikan penulisan kalimat dan hubungannya dengan kalimat lainnya agar tidak rancu;
3. Perlu diperhatikan juga tentang pemakaian kalimat yang efektif lewat editing yang tidak terburu-buru.
Demikian. Jika ada review yang kurang tepat, itu adalah semata-mata karena keterbatasan saya sebagai pembaca. ^^
~ mo ~