
⌣·̵̭̌✽̤̥̈̊·̵̭̌⌣
Pada dua hati telah dititipkan rasa, untuk bertaut dalam satu cerita, merindu cinta.
Kepada pemilik semesta,
izinkan cinta menjadi cakrawala,
menaungi debar-debar anak manusia ketika mereka lupa menemukan rumah.
Rumah itu surga,
pun bagi rindu yang kehilangan tempatnya,
berarak pulang menuju hati, di sini.
Di sini senja memilih setia,
menanti kapan musim melahirkan cinta,
dan kapan mata mengisyaratkan rona.
Rona terbias di sudutnya,
berharap jingga di cakrawala rindu.
Aku masih terpaku keindahannya,
terselip pada lipatan waktu.
Waktu menua pada kedalaman rindu,
berharap senja memerahkan detiknya,
agar sampai lengan yang tak sempat memeluk,
dulu.
Dulu,
rinduku serpihan,
sampai akhirnya senyummu singgah di setiap lekukan waktu.
Saat itu aku tahu rinduku tak lagi abu-abu.
Abu-abu,
warna yang dulu menyelimuti dadaku,
sebelum dan sesudah rindu meraja dalam tiap jengkal jaraknya.
Jaraknya tak lebih dari dua bola mata,
tetapi tak kudengar degup merindu di dada.
Mungkinkah telah melebur dalam dusta kata?
Kata tak lagi menyembuhkan luka,
sejak cinta memilih berdiam dalam ragu yang terlalu,
mengukir sepi yang membatu.
Membatu ragu dalam cumbuan waktu pasti akan rapuh,
saat tetesan air rindu perlahan menyentuh,
meskipun jemari tak ciptakan riuh.
Riuh malam menitikkan luka,
ada cinta yang tak terjamah dibalik sembunyi tembok bangunan-bangunan tua.
Tua adalah cermin tanpa bayangan semu,
saat itu aku ingin bersamamu menyulam benang-benang rindu,
ditemani mungil kupu-kupu.
Kupu-kupu di tepi padang,
mengikrarkan setia,
menemani ilalang sampai mengering dan tumbuh lagi.
Lagi,
dan untuk kesekian kali,
rinduku kembali nyeri.
Tertoreh sunyi saat malam dendangkan simponi hati;
di panggung mimpi.
Mimpi menjelma pagi,
seperti tak ingin diakhiri,
hanya ingin mengabadi,
seperti dongeng para peri.
Peri pucat semasai rembulan dini hari,
semalaman menemaniku dalam mimpi;
tentangmu.
Tentangmu,
selalu menjadi kisah yang mendebarkan dada
dan membuat senyum tak perlu alasan untuk merekah.
Merekah bibir untaikan doa,
membuka dada selebar aksara,
mengalir lembut menyentuh debar paling merindu asa.
Asa menyerah pada lengan-lengan gelisah,
berharap pelukan dalam detak-detak nadinya.
Nadinya sesaat berhenti,
memberikan jalan pada rindu untuk menelusup ke detak jantung,
agar tak ada lagi nyeri.
Nyeri seperti jeritan paling menyayat hati,
lelahkah cinta menjadi embun yang mengobati sepi-sepi.
Sepi-sepi kini tak lagi berkidung sendiri,
karena aku selalu setia menemani,
saat kanvas malam tertoreh mimpi di batas tepi.
Tepi senja semburatkan cahaya,
memerah seperti luka para pecinta,
akankah langit tetap menjadi sebuah rahasia yang tak bersuara.
Bersuara dalam diam adalah cara ungkapkan rindu terpendam,
entah kapan akan terdengar serupa meriam,
memekakkan rindu yang padam.
Padam rasa sebelum menyapa,
sebab debar terlalu pagi untuk menyerah,
cinta lenyap begitu saja.
Saja adalah kamu,
tempat kutanamkan benih abadi,
rawatlah sampai rasa bukan lagi kupu-kupu diantara kuntum bunga-bunga.
Bunga-bunga melayu pada kelopak mata,
menyesali rindu yang hadir tanpa diminta,
menangisi musim yang datang tanpa membawa cinta.
⌣»̶·̵̭̌·̵̭̌✽̤̈♡̬̩̃̊ @momo_DM : @ciyecci ♡̬̩̃̊✽̤̈·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣
Hehe. Yang kita kolaborasi rame-rame kemarin belum sempat aku posting, Mas. Terima kasih lho. 🙂
nice … kata akhir yang menjadi awalan paragraf berikutnya … 😉
Hihihi.
Tengkiyu lho, Mbakyu. 🙂
Rumah itu surga, pun bagi rindu yang kehilangan tempatnya…so touching 🙂