Seharusnya Malam Ini

Aku menegakkan kepalaku. Kutatap mata Nindy. Tanpa ekspresi. Tatapan mata yang penuh tanda tanya. Pertanyaan yang entah harus dari mana aku akan mulai untuk menjawabnya. Pikiranku tiba-tiba kusut. Aku terpojok pada sesuatu yang kukira akan berakhir bahagia — malam ini.

Lima tahun bukanlah  waktu yang sebentar bagi dua pribadi untuk saling mengenal. Terlebih hampir setiap detik aku dan Nindy selalu bersama. Dan, nyonya Astari sepertinya telah salah memilihku untuk mengemban tugas ini. Aku terlalu lemah menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan komitmen. Bukannya aku tidak mau berkomitmen, cuma sebenarnya aku belum siap dengan konsekuensi yang harus aku tanggung.

“Nin…dengerin aku. Sekali ini aja,” kataku menguatkan hati.

“Aku nggak mau denger apa-apa dari kamu selain jawaban atas pertanyaanku tadi,” jawab Nindy ketus, seperti biasa.

“Apa jawaban itu begitu penting bagimu? Bukankah aku melamarmu adalah jawaban dari hubungan kita selama ini?” jawabku membela diri.

“Ar…tak kupungkiri, aku sebenernya cinta sama kamu. Aku juga ingin saat ini menjadi saat terindah dalam hidupku. Tapi aku bukan perempuan bodoh, Ar. Aku bisa membaca keraguan di matamu,” jawab Nindy sambil menggeser posisinya sedikit menjauh dariku.

Malam mendadak hening. Hanya suara gemercik kolam ikan yang terdengar di halaman belakang. Kusandarkan tubuhku di tembok samping pintu. Sementara Nindy duduk di kursi kayu tak jauh dariku. Berdua tenggelam dalam kebisuan malam. Aku masih mencerna pertanyaan Nindy. Berderet-deret kata singgah dalam pikiranku tanpa pernah aku mampu merangkainya menjadi sebuah jawaban.

Saat aku menemukan jawaban, aku teringat dengan cincin yang terjatuh. Aku mencari-cari di sekitar, tetapi cahaya remang-remang membuatku kesulitan. Nindy yang sepertinya sudah pasrah dengan keadaan, hanya diam saja melihat gerak-gerikku. Tak berharap banyak sepertinya.

Kubongkar beberapa pot yang ada di teras belakang itu. Usahaku sia-sia saja.

“Kalau kamu belum bisa menjawab, lalu kenapa kamu harus mencari cincin itu?”

Aku tak mneghiraukan pertanyaan Nindy. Aku hanya berharap Nindy akan mengerti keseriusanku dari usaha yang kulakukan saat ini. Lima menit kemudian, aku menemukan cincin itu di selokan kecil yang ada.

“Nindy…tanpa diminta sekalipun aku tetap akan menikahimu,” katau meyakinkan Nindy.

Nindy terdiam. Kugenggam erat jemarinya.

“Menikahlah denganku. Kamu mau, kan?” kataku lagi seraya berjongkok dan meraih jemarinya.

Tanpa menunggu persetujuan Nindy, aku berusaha memasangkan cincin itu ke jari manisnya. Aku dan Nindy berusaha tersenyum penuh arti. Akhirnya, malam ini akan menjadi kepingan puzzle terakhir kisahku dengan Nindy.

Belum sempat Nindy mengiyakan pertanyaanku dan cincin terpasang sempurna, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam rumah.

“Astariii!!!”

#FFBerantai (baca berurutan, ya?! 🙂 )

  1. “Senin” (@rin_hapsarina)
  2. “Sekeping Puzzle” (@momo_DM)
  3. “Mawar yang Mekar” (@rin_hapsarina)
  4. Kupu-kupu Biru” (@momo_DM)
  5. “Selembar Foto” (@rin_hapsarina)
  6. “Labirin di Bola Mata” (@momo_DM)
  7. “Kembali” (@rin_hapsarina)
  8. “Bukan Kamu Tapi Aku” (@momo_DM)
  9. “Pertanyaan yang Belum Terjawab” (@rin_hapsarina)
  10. “Iya, Bu” (@momo_DM)
  11. “Bagaimana Jika” (@rin_hapsarina)
  12. “Seharusnya Malam Ini” (@momo_DM)
  13. … .

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *