Sekeping Puzzle

“Mau sampai kapan akan terus seperti ini?”

“Diam kamu! Ini bukan urusanmu.”

Bukan kali ini saja aku mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang hukumnya wajib terlontar setiap aku menanyakan hal yang sama. Aku paham betul dengan yang dihadapinya saat ini. Sebenarnya aku hanya ingin memberikan saran saja. Tidak lebih. Tetapi sepertinya niat baik tidak selalu mendapat tanggapan yang baik pula.

Kalau dipikir-pikir memang itu bukan urusanku. Tapi lima tahun kebersamaan adalah waktu yang lama untuk saling mengenal pribadi masing-masing. Lalu, apakah selama ini aku memang tidak berarti baginya? Bagi keluarganya? Ah! Kenapa juga harus aku pikirkan, toh, aku bukanlah penguasa atas dirinya dan segala yang dimilikinya, termasuk hatinya.

“Kamu nggak akan bisa. Mending cari orang yang lebih profesional.”

“Aku pasti bisa! Selemah-lemahnya perempuan, punya kekuatan yang tak disadari oleh pria.”

Deg! Kata-kata terakhirnya sebelum keluar mobil tadi seolah mencabik harga diriku sebagai lelaki. Tapi rasa yang terpendam dalam hatiku mengalahkan segalanya. Keyakinannya sangat kuat. Itu yang mampu membuatnya tegar sampai sekarang. Menangani sesuatu yang di luar batas kemampuannya. Hal itu yang membuat rasa kagumku semakin kuat padanya. Hanya itu. Tak lebih. Setidaknya begitulah caraku mengelabui perasaan cinta yang semakin besar di hatiku padanya.

Aku masih terpekur di dalam mobil. Membayangkan setiap adegan yang terjadi di dalam restoran itu. Dia pasti sedang memberi perhatian lebih pada seorang pria tua. Berbagi tangis. Dan, aku tahu apa arti tangisan itu. Aku paham dengan yang dilakukannya, tapi kebodohanku adalah membiarkan semua itu terus berlanjut sampai sekarang. Hingga hampir tak ada sedetik pun bagiku untuk sekadar berdua, lalu aku memberikan bunga mawar biru bertuliskan “I love you” sebagai ungkapan cinta untuknya. Egoiskah aku? Aku hanya diam dan tetap berharap kepastian akan menemukan ujungnya. Biarlah waktu yang akan menyelesaikan puzzle ini. Aku tak sanggup lagi mencari sekeping puzzle yang hilang agar aku dan dia bisa bersatu.

“Arioonnnn! Cepat buka pintunya!”

Aku terkesiap mendengar teriakannya yang tiba-tiba. Aku beranjak dari belakang kemudi dan membuka pintu, lalu membantunya mendudukkan pria tua itu di jok belakang. Aku bergegas melarikan mobil itu ke rumah meninggalkan gerbang bertuliskan “Soriano Trattoria”. Nama sebuah restoran Italia, langganan majikanku, orang tua kekasihku, Nindy.

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *