
Pagi yang luar biasa karena hari ini adalah hari istimewa bagiku. Aku ingin hari ini menjadi ulang tahun terbaikku. Aku masih mematut diri di depan cermin rias. Berkali-kali aku memantaskan pakaian seragam yang kukenakan. Bukan baru memang, tapi setidaknya aku sangat menyukainya.
“Kamu sudah siap berangkat, Ai?”
“Iya, Ma.”
“Enggak sarapan dulu? Udah Mama siapin nasi goreng kesukaanmu, tuh!”
Aku tidak menjawab pertanyaan Mama. Aku masih sibuk di depan cermin rias menyelesaikan kepangan rambutku. Tanpa kusadari Mama dengan sabar membantuku. Menjalin setiap helaian rambut menjadi kepangan yang rapi. Mama menyelesaikan dengan cepat dan mengikat ujungnya dengan pita merah jambu, kesukaanku.
Aku beranjak dari kursi dan berputar-putar di depan cermin rias berukuran besar di sudut kamar. Sekilas aku lirik, Mama tersenyum melihat kelakuanku.
“Boleh Mama tanya sesuatu, Ai?”
“Apa, Ma?”
Mama menarik tanganku dan mengajak duduk di sebelahnya. Pinggir spring bed itu sedikit kempes. Aku masih memainkan ujung kepangan rambutku saat Mama membuka suara.
“Ai, kamu yakin memakai seragam ini?”
“Emang ada yang salah, Ma. Sekarang, kan, hari Senin.”
“Ai… ,” Mama tercekat tidak meneruskan pertanyaannya.
“Mama kenapa? Mama enggak suka Ai pakai seragam ini?” tanyaku.
Perlahan Mama meraihku dalam pelukannya, menyembunyikan bulir air matanya dalam senyuman tipis. Sederhana cara Mama mengajariku untuk tidak cengeng.
“Mama bukannya tidak suka, tapi lihat seragammu? Bukankah itu seragam lamamu?” tanya Mama.
Belum sempat aku menjawab, Mama mengusap genangan di ujung kelopak mataku dengan jari rapuhnya. Lembut.
“Ai… kasih Mama satu alasan kenapa kamu memakai seragam ini?”
“Maafkan Ai, Ma. Ai enggak punya alasan. Ai hanya ingin dengan memakai seragam ini, Ai tetap bisa menjadi gadis kecil Mama.”
Mama terdiam. Pun denganku yang tak tahu harus berkata apa lagi. Hening. Membisu.
“Ai… ketahuilah, Nak. Enggak perlu sampai kayak gitu. Sampai kapan pun Ai tetap anak Mama. Sampai berumur berapa pun Ai tetap gadis kecil Mama, bahkan sampai Ai menjadi istri dari suamimu kelak pun, Ai tetap menjadi gadis kecil Mama. Ai enggak perlu ragukan itu.”
“Maafin, Aira, Ma,” kataku sambil memeluk Mama dalam-dalam. Haru.
“Enggak ada yang perlu dimaafin, Nak. Ai boleh ragu pada pilihanmu, tapi jangan ragukan Mama. Udah sekarang ganti seragammu. Papa udah nunggu di meja makan, tuh! Oya, selamat ulang tahun, gadis kecil Mama,” kata Mama mengecup keningku, dua puluh enam kali.
Mama meninggalkanku sendirian di kamar dalam senyuman. Senyum Mama adalah kekuatanku untuk menjalani usia baru. Aku bergegas mengganti pakaian seragam dan mengubah tatanan rambut.Aku pun berangkat kerja dan bersiap menyambut hari baruku.
Perlahan kututup pintu kamar, meninggalkan seragam yang baru saja kuganti, seragam SMAku, tergeletak begitu saja di atas spring bed. Aku tersenyum tipis.
//
gambare ra kethok, masmo…
Iya, Mas.
Belum sempat update gambarnya.
Masih di kampung susah sinyal soalnya.
🙂