
[Kepada NOAH]
[1]
dan terjadi lagi
kisah lama yang terulang kembali
kau terluka lagi
dari cinta rumit yang kau jalani
Tak mudah menjadi aku. Saat ingin bangkit, justru kau kembali datang padaku. Bukan dengan senyuman, tetapi air mata yang kausuguhkan. Aku bisa apa? Bahkan sekadar berkata saja, aku seakan tak bisa. Masa lalu memaksa pita suaraku untuk diam. Meskipun begitu, aku masih punya pelukan yang akan menghangatkanmu. Kamu percaya? Seharusnya iya. Tanpa kausadari doa-doaku yang memeluk lukamu saat ini. Kemarilah, Kekasih. Pelukanku terlalu hangat untuk kausia-siakan. Masih ingatkah kau saat kedua lenganku menguatkanmu dulu? Dulu… Iya… dulu. Sebelum waktu menjamah dan merenggutmu dari sisiku. Saat ini aku tak ingin itu terulang lagi. Dari kehidupan aku belajar, bahwa waktu bisa menyembuhkan luka. Kemarilah, Kekasih! Ceritakan lukamu, lalu izinkan aku yang menjadi penyembuhnya. Kau mau, kan?
Kau terdiam. Aku pun demikian. Berdua kita merajut kenangan. Aku dengan lukaku dan kau dengan lukamu. Di sini, di bangku taman ini dulu kita pernah membuat janji. Ingatkah kau tentang janji itu? Ah! Terlalu indah untuk dilupakan, bahkan saat luka kembali mengajarkan tentang indahnya kebersamaan. Hening sekian lama, akhirnya pecah oleh suara angin yang menerpa daun mahoni yang menaungi kita saat ini. Serupa itukah kau saat ini? Perlahan kupungut sehelai daun yang gugur itu. Sementara kau masih terdiam, bercumbu dengan masa lalumu.
“Kamu tahu daun ini, Aretha?”
Kau masih membisu.
“Daun ini terjatuh pada saat yang tepat. Setelah angin, hujan, matahari, dan waktu. Iya… waktu juga akhirnya yang menjatuhkannya,” kataku lagi.
Kau tetap bergeming. Bahkan saat tangan kananku meraih pundakmu, kau tetap saja seperti dulu. Kusibak rambut halus yang hinggap di dahimu. Angin telah menjatuhkannya tanpa permisi. Sederhana. Aku tak ingin kauterganggu dengan ketidaknyamanan.
“Asal kamu tahu Aretha. Aku ada untuk mendengar kisahmu. Sepahit apa pun itu.”
Aku tahu kau mendengarkanku. Satu yang tidak kutahu, kau sama sekali tidak meresponku. Haruskah aku menyerah? Tentu tidak. Setelah sekian lama kita berpisah, aku tak mau hari ini ada cerita darimu yang tak tersampaikan.
Sekilas kulirik kau membuka tasmu. Kaukeluarkan buku catatan kecil dan sebuah pulpen. Aku sama sekali tak tahu apa yang hendak kautuliskan. Sampai akhirnya siang merembang petang saat kau menuliskan sebaris kalimat.
“Aku sudah tak seperti dulu lagi.”
Deg! Degup jantung tak lagi berirama saat kausodorkan tulisan itu. Kenapa harus lewat tulisan? Apakah kau tak tahu betapa aku rindu suara manjamu? Tapi kau tetaplah dirimu. Tak mungkin kupaksa untuk buka suara.
“Ceritakan saja, Aretha. Aku ingin mendengarnya.”
Suara anak-anak kecil berlarian di taman setidaknya sedikit kepenatan hatiku. Hamparan rumput hijau selepas hujan semalam sedikit menyejukkan hatiku. Kau masih saja membisu. Hanya jemarimu yang menari di atas buku catatan itu. Aku membiarkanmu merangkai kata. Mungkin hanya dengan begitu, aku bisa membuat kau bahagia.
Suara ayunan yang berjarak sepuluh langkah dari tempatku duduk mulai berderit. Aku tahu, itu artinya sebentar lagi anak-anak kecil itu akan mengayunkan hatiku. Seperti saat ini. Dan, benar saja. Hatiku berayun seiring tawa ceria anak-anak itu. Ini hatiku, tak seharusnya terbawa oleh suasana. Aku harus bisa mengendalikannya. Segera.
Aku pun akhirnya bisa menguasai hatiku. Kumainkan ujung rambutmu untuk menghilangkan resah. Sesekali kulirik tubuhmu yang berbalut kaos putih bertuliskan “I’m Strong!”. Rok merah marunmu sepanjang mata kaki kadang-kadang menari terbawa angin. Sementara telapak kakimu, masih setia dengan sandal jepit berwarna biru. Sederhana menurutmu, luar biasa bagiku.
Selang sepuluh menit kemudian, kausodorkan buku catatanmu. Tulisan tanganmu yang kukenal sejak kuliah masih seperti dulu. Rapi. Dan, aku suka itu. Tak salah kalau aku suka memfoto kopi catatanmu saat kuliah dulu.
Aku tertegun sejenak membaca tulisanmu. Raut mukamu tiba-tiba berubah. Aku bisa mengerti itu. Ini memang tak mudah bagimu.
[2]
aku ingin kau merasa
kamu mengerti aku mengerti kamu
aku ingin kau sadari
cintamu bukanlah dia
Dalam bisumu, aku bisa merasakan luka hati yang kaualami. Kuraih pundakmu. Kaurebah di bahuku. Basah kurasakan di baju kerjaku. Aku tahu kau sedang menangis.
“Menangislah! Karena dengan begitu takkan ada lagi sesak di hatimu.”
Kau sesenggukan dalam pelukanku. Mataku masih tertuju pada buku catatanmu. Berbaris-baris kalimat menghunjam jantungku. Sedemikian dalam luka hatimu.
“Maafkan aku karena dulu tak memilihmu. Kamu mau, kan, Arion?”
Aku merasa tak perlu menjawab pertanyaan itu, karena kau sebenarnya sudah tahu. Hanya saja mungkin kau tak merasakan ini dari dulu. Aku tahu karena aku memang bukan siapa-siapa. Bahkan sampai detik ini. Aku masih menjadi aku yang selalu saja bisu saat seharusnya aku mengungkapkan perasaanku. Tapi apa? Aku memang pengecut. Selalu saja membiarkan kamu bahagia dengan pilihanmu, tanpa pernah menyadari bisa jadi kebahagiaanmu adalah bersamaku.
Aku mengutuk diriku sendiri yang telah membiarkanmu merasakan kebahagiaan semu. Bodohnya diriku!
Sore masih seperti sebelumnya. Cahaya kuning keemasan berpendar di langit. Mungkin mewakili perasaan bahagiaku saat dekat denganmu. Aku seperti menemukan bagian diriku yang hilang.
Kamu masih terisak. Pun, aku. Mataku yang sembab tak bisa membohongi, tentang hati yang takut kehilangan, tentang perasaan yang siap menerimamu apa adanya. Aku hanya ingin kau menyadari bahwa cintamu bukanlah dia, tapi aku.
“Setelah kecelakaan itu, perlahan dia menjauh dariku. Tak ada lagi kebahagiaan kurasakan. Hubungan selama dua tahun itu pun mendadak menjadi hambar dan tak jelas arah.”
Kalimat penutup yang membuatku ingin kembali ke dua tahun yang lalu. Saat aku dan kau di sini. Iya… di bangku taman ini, aku menyatakan perasaan cintaku padamu. Hampir. Sebelum akhirnya, lelaki itu datang lalu membawamu pulang. Ayahmu. Saat itu aku menangis dan kau tidak tahu tentang hal itu. Aku memang pantas diperlakukan seperti itu. Siapalah aku saat itu.
“Terlebih sepeninggal Ayah. Aku semakin terpuruk. Beruntung Ibu memiliki warung, sehingga aku bisa memiliki kegiatan positif.”
Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan konflik batin yang berkepanjangan. Kusodorkan kembali buku catatan itu. Aku tak pernah memaksamu untuk menuliskan kisahmu, tapi entah apa yang membuatmu kembali lancar menuliskan kata-kata. Aku tahu kau hanya ingin didengar. Dan, kau tahu aku adalah pendengar yang baik.
“Tenanglah, Aretha. Aku yang akan membawa ke satu arah yang pasti. Percayalah padaku,” kataku lirih.
[3]
dengar laraku
suara hati ini memanggil namamu
karena separuh aku dirimu
Ini hanya masalah waktu. Nanti, sebentar lagi aku yang akan menerima giliran untuk bercerita. Nanti… Iya… nanti setelah kau selesai dengan laramu, aku ingin kau juga mendengar laraku. Aku yakin kau pasti mau. Kulirik tulisanmu.
“Arion… entah apa lagi yang harus kutuliskan. Satu yang aku tahu, saat ini aku kembali untukmu. Masihkah kau mau menerimaku sebagai sahabatmu seperti dulu?”
“Jangankan sahabat, Aretha. Tanpa kau sadari aku ingin jadi lebih sekadar sahabat. Sejak dulu,” batinku.
Lima menit kemudian, satu paragraf tercipta dari jemari lentikmu. Dan, aku kembali membacanya. Aku membiarkan hatiku terbawa, hanya agar bisa merasakan lukanya. Selesai membaca, aku tahu kalau kau sebenarnya juga punya perasaan yang sama. Kita sama-sama terluka. Kau terluka oleh dia, lelaki yang mencampakkanmu begitu saja. Sementara aku, terluka dan lara karena rasa yang tak terucap.
“Sekarang giliranmu bercerita, Arion. Apa saja. Aku ingin mendengarnya.”
Aku menghela napas. Sekarang adalah waktu yang tepat. Aku tak ingin duka lara yang tersimpan ini akan kembali mengendap. Aku harus bisa.
“Kau tahu, Aretha? Sekarang bengkelku semakin maju,” kataku.
Kabar bahagia itu membuat kau tersenyum. Sengaja kulakukan agar setidaknya kau bisa ikut merasakan kebahagiaanku.
“Tapi, ya itu. Ujian selalu datang kapan saja tanpa pernah kita duga. Di tengah kebahagiaanku, aku mengalami kecelakaan. Dan, kaulihat sekarang? Sekarang… inilah aku, apa adanya diriku. Menjalani hidup sendiri,” lanjutku lagi.
Aku tak melanjutkan ceritaku. Teringat kejadian setahun lalu. Kecelakaan kerja yang membuatku terpuruk. Beruntung ada seorang pegawai bengkel yang setia merawatku. Bahkan sekarang dia yang kupercaya untuk mengelola bengkel. Sementara aku sibuk mencari separuh hatiku, kau Aretha. Asal kautahu Aretha, untuk mengisi hari-hariku, aku menuliskanmu dalam berlembar-lembar tulisanku. Berharap suatu saat kau akan membacanya.
“Aku hampir putus asa saat itu. Beruntung aku masih ada satu impian yang menguatkanku. Menemukanmu, Aretha. Dan, hari ini aku sudah menemukanmu. Kau ingat seminggu yang lalu, saat pertama kali tiba-tiba kau menghampiriku di bangku taman ini? Aku kaget karena kau masih ingat di sinilah aku menenangkan diri. Lucu, ya?”
Aku diam sejenak. Membiarkan ingatan dalam pikiranmu menuju kepadaku. Dan, aku berhasil. Aku melihatnya dari senyummu.
“Lalu kita janjian, untuk ketemuan di sini lagi seminggu kemudian, hari ini. Iya… hari ini. Dan, kita berjanji untuk saling terbuka. Kau tahu, Aretha. Aku bahagia sekali,” kataku sambil mengencangkan pelukan di bahunya.
Kau masih tersenyum. Entah apa yang ada dalam pikiranmu saat ini. Tapi, dari senyummu aku tahu, kau sedang bahagia seperti aku. Semoga kali ini aku tidak salah. Keberanian yang terpendam tiba-tiba muncul.
“Aretha… Asal kautahu semenjak kepergianmu saat itu, aku bukan lagi aku. Aku hampir menyerah kalah. Tetapi kehidupan mengajariku untuk tetap kuat. Dan, kau tahu aku akan lebih kuat saat bisa bersamamu. Seperti saat ini, selamanya. Kau mau?”
Kau tak juga menjawab. Hanya senyuman penuh arti. Bahkan tatapan matamu sama sekali tidak tertuju padaku. Ada perasaan menyesal atas keberanian yang datang tiba-tiba itu. Tapi apa daya, kata sudah terucap. Dan, aku hanya bisa pasrah.
“Tak perlu kaujawab Aretha. Cukup cium pipiku kalau kau mau menerimaku apa adanya diriku?”
Hening sejenak. Bahkan, suara riuh taman seperti tak terdengar lagi. Orang-orang di taman berhenti bergerak. Ah! Apakah dunia berhenti berputar? Ataukah denyut jantungku yang berhenti mendadak? Tentu tidak. Ini hanya ketidaksabaranku saja.
Sesuatu yang hangat mendarat di pipiku yang kemudian bersemu merah. Ah! Kau menerimaku apa adanya.
[4]
ku ada di sini
pahamilah kau tak pernah sendiri
karena aku selalu
didekatmu saat engkau terjatuh
Waktu berjalan begitu lambat. Bunga-bunga kebahagiaan bermekaran. Aku dan kau di sini. Saling mengajari bahwa kita tak pernah sendiri. Pada akhirnya, kita akan saling menguatkan. Tanpa pedulikan sekeliling, aku dan kau berpelukan lama sampai sore meninggalkan bayangan panjang batang-batang pohon. Sepanjang kisah kita sampai akhirnya pada malam juga kita menyerah. Kini, kita tak lagi separuh, karena kita sudah utuh, berdua berjanji mengarungi hidup, meskipun harus bergantian mengayuh. Agar salah satu bisa membantu saat yang lain terjatuh.
[5]
dengar laraku
suara hati ini memanggil namamu
karena separuh aku
menyentuh laramu
semua lukamu telah menjadi milikku
karena separuh aku dirimu
“Sudah malam. Kita pulang, yuk!” ajakku.
Kau menggandengku menuju kursi roda yang kuletakkan tak jauh dari bangku taman itu. Bangku taman saksi bertautnya kembali dua hati, dalam keadaan berbeda. Aku dengan kursi roda yang menemaniku sejak kecelakaan di bengkel waktu itu, dan kau yang bisu karena benturan di kepalamu saat terjatuh. Katamu, akibat kecelakaan itu telah merusak bagian jaringan otak yang mengatur sistem bicara yang terdapat di daerah hipotalamus.
Kau pun akhirnya mendorong kursi rodaku perlahan. Menuju satu arah. Kebersamaan selamanya.
*Terinspirasi dari lagu “Separuh Aku” ~ NOAH

Masih menjadi cerita yang bersambung dari tulisan-tulisan sebelumnya ya Mas. Aretha dan Arion. 😀
Hahha. Kalau Aretha dan Arion mah bersambung surat-suratan sama Aunty Bety untuk menunggu buka puasa lewat #ngabubuwrite 🙂
Beneran itu cara buat bikin jadi produktif. 😀
Keren keren Mas.
Aku sendiri malah gak tahu ada #ngabubuwrite. Hehe.
Menunggu cerita Aretha dan Arion-nya lagi. Sosok yang hampir selalu ada di tulisan Mas Mo yak. 😀
Hahahay. #ngabubuwrite yang ikutan sepi. Soalnya pada sibuk masak atau jalan-jalan sore. 🙂
Aku mikir malah ramai Mas. Lagian teman-teman menulismu kan juga cukup banyak. 😀
Halo halo… Ceritanya bagus… :)))
Makasih apresiasinya, Aunty. Nulisnya SKS tuh, Sistem Kebut Sejam. Mihihi
Cuma bisa bilang “Keren..
“
Makasih apresiasinya, ya. 🙂
he’em 😐 😀
Daebakkk mass!! 🙂
Tengkiyu. 🙂
Hu uh 🙂