Sketsa Wajah Sang Penyendiri

Cermin tidak pernah berbohong. Saat aku menatapnya, selalu saja ada sorot mata yang tajam ke arahku. Sorot mata yang bisa menemukan hal sekecil apa pun di wajahku. Sekuat apa pun aku mengingkari, semakin kuat pula mata itu meyakinkan, bahwa ini wajahku.

Raut yang jelas berbeda saat aku masih kecil. Meskipun begitu, masih ada beberapa yang tidak berubah. Salah satunya adalah tahi lalat.

Menurut orang-orang di sekelilingku, wajahku termasuk putih. Bahkan, tak jarang setelah mandi, beberapa teman mengatakan aku seperti habis memakai bedak. Secara bentuk, aku memahami wajahku sebagai oval dengan dahi yang agak berkerut. Meskipun, kulit wajahku tergolong masih kencang, tapi guratan-guratan berupa tiga garis lurus melintang di dahi, tidak bisa disembunyikan.

Sementara alisku, jauh dari kesan semut beriringan, karena alisku termasuk tipis dan jarang-jarang. Di antara kedua alisku, ada kerutan yang aku sendiri tidak tahu sejak kapan ada di situ. Di dekat pangkal alisku yang sebelah kanan, terdapat satu tahi lalat yang membentuk tonjolan kecil. Tahi lalat ini juga dekat dengan sudut mataku yang memiliki bola mata cenderung berwarna merah dan tidak putih bersih. Orang-orang bilang mataku seperti baru bangun tidur. Ditambah dengan bulu mata yang pendek dan lipatan kecil di kulitnya, membuat mataku semakin terlihat kecil. Padahal, seingatku, dulu waktu masih SMP kelas dua, Mbakku memanggilku ‘plolong’ karena mataku bulat. Kini, waktu telah mengubahnya menjadi sempit dan seolah hilang saat tertawa lebar. Beruntung, di bawah kedua mataku tidak ada kantung yang menggelembung.

Di antara kedua mataku, ada hidung yang menurutku ‘besar’ dibandingkan hidung orang lain. Faktor keturunan yang menyebabkannya. Aku tahu, karena semua saudaraku memiliki bentuk hidung yang sama. Ujung hidung bulat dengan rongga yang besar dipenuhi bulu yang kadang sampai keluar kalau tidak dirapikan. Sementara di batang hidungku, ada satu tahi lalat yang cukup besar dan jelas.

Di bawah hidung, aku memiliki kumis tipis yang tidak pernah bisa tumbuh lebat. Kalau sedang tidak habis dicukur, akan tampak helaian kumis yang tumbuh tidak merata. Hanya di bagian kiri dan kanan atas bibir saja. Seperti kumisnya Tukul Arwana, kalau orang bilang. Kumisku tumbuh di atas sepasang bibirku yang tebal dengan guratan yang jelas dan sama sekali tidak berwarna merah. Aku menyebutnya gelap pucat dengan lengkungan jelas di bagian atas. Tepat di bawah bibir bagian bawah, tumbuh sehelai rambut pendek yang sengaja kubiarkan tetap tumbuh.

Terakhir adalah bagian dagu. Daguku tidak lonjong dan pecah dua, cuma agak lonjong saja. Sama halnya dengan kumis, jenggotku pun tidak pernah tumbuh secara lebat.

Kalau secara umum, si, sepertinya wajahku tipikal khas orang Jawa. Bedanya, mungkin wajahku penuh dengan tahi lalat yang bertebaran di banyak tempat dalam berbagai ukuran yang terlihat jelas. Terlebih di bagian pipi. Meskipun banyak sekali bekas jerawat yang parah waktu kuliah, tetapi tidak sampai menyebabkan timbulnya lubang-lubang yang kelihatan. Mungkin karena sel-sel wajahku memiliki kemampuan regenerasi yang baik, sehingga tampak awet muda. 🙂

~ mo ~

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *