
Dear Simbok,
Aku lebih suka memanggilmu seperti itu. Bukan ibu, mama, atau panggilan keren lainnya. Bagiku, apa pun panggilanmu, kau tetap wanita tangguh yang luar biasa bagiku. Dulu, sekarang, dan nanti. Simbok sehat-sehat saja kan? Doaku semoga simbok sehat selalu. Oya, Simbok sedang apa? Pasti sedang nonton sinetron ya? Maafkan aku, Mbok, aku tidak bisa menemanimu, seperti kemarin saat aku di rumah merayakan lebaran. Aku masih ingat, Simbok semangat menceritakan kembali sinetron yang sedang kita tonton bersama waktu itu, meskipun tanpa diceritakan lagi, aku pasti mengerti jalan ceritanya. Aku hanya diam mengangguk-angguk. Aku juga tidak akan pernah bosan mendengarnya. Cerita-cerita Simbok seperti dongeng sebelum tidur waktu aku masih kecil. Dan, aku selalu menyukainya. Cara Simbok bercerita dengan mimik sedih ala pemeran protagonis dan kadang-kadang judes ala pemeran antagonis. Simbok bisa memerankannya dengan sempurna. Itu salah satu yang kukagumi dari Simbok. Kemampuan menceritakan kembali kisah sinetron, meskipun sebenarnya aku tahu, Simbok tidak bisa Bahasa Indonesia.
Mbok,
Masih ingat kan, saat aku pulang mudik lebaran tahun kemarin? Aku sangat sedih, Mbok, karena ternyata Simbok sedang di Rumah Sakit Ortopedi. Simbok tidak tahu kan, kalau aku sempat menangis di toilet bandara Adi Sucipto saat mendapat kabar itu? Simbok tidak tahu karena memang aku tidak pernah menceritakan pada Simbok saat aku di rumah. Hanya lewat surat ini, aku baru menceritakannya pada Simbok. Semoga lekas sembuh ya, Mbok? Banyak istirahat. Kan sekarang waktunya Simbok istirahat, karena sudah capek setelah berpuluh-puluh tahun menggendong jamu keliling kampung di tanah rantau, hanya agar aku dan kedua kakakku bisa kuliah. Sekarang kami bertiga sudah bekerja, Mbok. Biar sekarang kami yang membahagiakan Simbok, meskipun takkan pernah bisa seperti Simbok yang telah membahagiakan kami.
Mbok,
Lewat surat ini aku ingin menyampaikan satu kejujuran. Aku menyesal karena tidak mau menemani Simbok tidur waktu malam pertama aku tiba di rumah. Dan, saat itu adalah kali pertama aku tidak mau menemani Simbok tidur. Aku tahu Simbok kecewa, sampai akhirnya Simbok memutuskan untuk tidur di sofa. Aku menyesal sudah bikin Simbok kecewa. Padahal aku tahu, sebenarnya Simbok hanya ingin melepaskan rindu saja, setelah hampir setahun tidak bertemu. Kini di rantau, saat aku benar-benar terpuruk dan jatuh, aku merindukan jemari rapuh Simbok yang mengusap lembut rambutku sebelum tidur. Kusadari, itu adalah satu-satunya cara Simbok menenangkan aku dari segala gundahku. Sekarang, aku harus bagaimana, Mbok?
Mbok,
Masih ingat kan, saat kakak-kakakku mencecarku dengan pertanyaan, “Kapan nikah?” Saat itu, Simbok hanya tersenyum. Senyum tulus yang menguatkanku. Simbok hanya bilang, “Sabar ya, Mo. Nanti kalau memang sudah saatnya, pasti kamu akan menikah dengan orang yang tepat.” Beban seberat apapun seketika lenyap. Kakak-kakak pun tidak ada lagi yang berargumen. Diam.
Mbok,
Aku masih ingat saat sepulang dari salat Id. Simbok mengajak aku dan yang lain untuk ziarah ke makam Bapak. Aku tahu itu adalah bukti cinta Simbok pada Bapak. Tapi apa, justru kami yang muda memilih untuk sarapan terlebih dahulu. Kami merasa kalah dan bersalah, ternyata Simbok justru tidak sarapan dan tetap sabar menunggu kami selesai makan. Sepulang dari ziarah, Simbok mengajak aku berbincang di teras, tentang segala hal. Hangat, sehangat teh manis kental buatan Simbok. Satu yang kuingat, Simbok berpesan padaku, “Mo, sebagai seorang guru, kamu harus mengajar dengan sebaik-baiknya. Ingat, pekerjaan adalah amanah.” Saat itu aku hanya menjawab, “Iya, Mbok.” Lalu aku menangis, mengingat sudah berapa orang anak yang aku ajar sampai bisa membaca dan menulis, tetapi aku justru membiarkan Simbok tetap buta aksara dan tidak pernah punya waktu untuk mengajari Simbok membaca dan menulis. Sampai saat ini. Maafkan aku, Mbok. Aku belum bisa membuat Simbok mengerti tentang semua yang kutuliskan diam-diam, termasuk surat ini. Tunggu sampai aku pulang lebaran tahun depan, Mbok, untuk membacakan surat ini. Di hadapanmu sambil memelukmu erat. Aku tahu, meskipun Simbok tidak bisa membaca, tapi aku yakin Simbok tetap bisa membaca isi hatiku yang tertulis dalam surat ini. Iya kan, Mbok?
Mbok,
Bahkan seluruh lembaran buku yang ada di dunia ini takkan pernah cukup untuk menceritakan kenangan indah kita. Kasih sayangmu, perjuanganmu, dan bahkan ar matamu. Maafkan aku, yang seringkali lupa mendoakanmu, tidak seperti Simbok yang tak pernah lalai mendoakan kebahagiaan untukku. Aku juga pernah menjadi penyebab jatuhnya air matamu, tapi aku janji kelak aku yang akan mengusapnya dengan doa. Maafkan aku juga, karena belum bisa membuat Simbok bahagia dan bangga, tapi dengan doamu, suatu saat aku akan membuat Simbok bahagia dan bangga telah melahirkan aku ke dunia. Terima kasih, Mbok, tanpamu, takkan pernah ada aku. Tanpa kasih sayangmu, takkan pernah aku bisa belajar menyayangi sesama, dan tanpa kepahlawananmu, takkan mungkin aku menjadi pahlawan tanpa tanda jasa.
Sudah dulu ya, Mbok. Aku mau persiapkan bahan untuk mengajar esok hari. Doakan agar aku tetap istikamah dalam pekerjaan demi masa depanku. Kudoakan Simbok tetap sehat, agar bisa menjagaku dalam setiap doa selesai salat. Peluk jauh dariku. Aku sayang Simbok, kemarin, hari ini, dan selamanya.
Mataram, 3 November 2011
Anakmu yang belum bisa membahagiakanmu,
Momo
Selamat Hari Ibu… 😀
Wah backgroundnya lebih mengelegar ya 😀
Hehehe. Selamat Hari Ibu juga, Kak Rin. Backgroundnya Lombok banget tuh! 🙂
Reblogged this on Here Me With Mine and commented:
love u mom
*nangis 3 ember*
Sungguh, makasih udah boleh mampir mas Mo..
Yang sabar ya. Dalam doa kita ibu akan selalu ada. Di tempat paling dekat dengan kita; hati. Makasih udah berkunjung lho.