Dear bianglalaku,
Dimanapun dirimu bertahta saat ini, aku yakin kau pasti membaca suratku ini. Karena suratku ini aku titipkan di hatimu. Deretan kata yang aku tuliskan dari dan dengan hati. Untaian kata dalam melodi senja, yang akan kaubaca pada waktunya. Aku berharap semoga kau senantiasa membaca hatimu. Dengan begitu kau akan tahu bahwa aku sedang menunggumu. Menunggumu, di sini di hatiku. Hatiku yang saat ini tengah menanti dirimu, untuk menangkupkan kembali separuh hatiku yang sudah kupinjamkan padamu. Bukannya aku berharap kaukan mengembalikannya padaku saat ini. Bukan itu bianglalaku. Aku hanya ingin kau bisa menangkupkannya suatu saat nanti, untuk kautukar kembali dengan separuh hatimu yang sudah kautitipkan di hatiku. Hingga pada suatu masa, hatiku dan hatimu bisa merasakan rasa yang sama. Rasa berbagi suka, maupun rasa berbagi duka. Apakah itu sulit bagimu? Aku rasa tidak. Karena di separuh hatiku yang tersisa maupun yang kaubawa, telah aku sisipkan rasa setia dan percaya. Sehingga hatimu akan merasa nyaman, tanpa pernah ada ketakutan akan kehilangan. Pun demikian halnya dengan diriku. Saat rasa nyaman itu ada, saat itulah aku yakin bahwa kaulah bianglalaku. Bianglala dengan pesona sejuta warna yang akan mengiringi langkahku dalam meniti hari yang merona sampai ujung senja. Entah kapan masa itu tiba, aku hanya bisa menunggu hujan kala senja itu reda untuk sementara.
Dear bianglalaku,
Asal kau tahu, mendung yang terkadang menggelayut menghias angkasa hatiku, pertanda akan turunnya hujan, itulah diriku saat ini. Meskipun terkadang mendung itu terasa mengganggu, tetapi bagiku justru saat itu terbersit kebahagiaanku. Karena mendung meskipun pekat, tetapi justru bisa membuat hatiku kuat. Apalagi ketika mendung pecah dan menjadi butiran-butiran bening, aku pasti bersorak. Aku akan berlari mengejar butiran-butiran bening itu dalam hitungan detik. Aku tak mau aku sampai terlarut dalam serbuan butiran itu. Kalau sampai aku terlarut itu artinya penantianku sia-sia. Aku mengejar butiran bening itu hanya untuk menangkupkan kedua tanganku. Ya..hanya untuk itu. Hanya agar aku bisa berharap curahan butiran itu akan segera berlalu. Kau tahu mengapa? Karena setelah berjuta butiran bening itu menghujam dan merasuk ke bumi, aku akan melihat kau tersenyum. Tersenyum di bianglala senja yang terbias dari cahaya merona. Senyum yang selalu hadir saat aku duka. Senyum yang sanggup menghadirkan tawa dalam sebuah tangga nada. Sungguh bianglalaku, aku ingin bisa raih senyum itu segera. Namun mengapa sepertinya kau masih enggan? Apakah kau masih ingin bermain dengan bidadari-bidadari itu? Turunlah wahai kau yang bertahta disana. Atau setidaknya kaulemparkan saja selendang merah muda. Agar aku bisa menyimpannya, untuk kauambil nanti pada suatu masa. . . .
*Penasaran dengan kelanjutannya? Tungguin ya! Atau mau dilanjutkan sendiri juga boleh..:D*
Bagus tulisannya. Mendayu-dayu banget. Domo pinter merangkai kata dan membuat perumpamaan. Yg perlu diperhatikan mungkin ya saat kita merasa bisa mengungkap semua perasaan lwt kata-kata, kadang ke efisien an kata2 itu suka jadi kedodoran. Banyak perumpamaan yg kurang makna krn artinya merely the same dgn kalimat sblmnya, hanya mengungkapkannya sj yg beda cara. Itu aja dari aku, semoga bermanfaat. Sukses selalu ya 🙂
Many2 tengkiu masukannya mbakyu..maklum SKS..:) Ntar deh dibaca2 lagi..sukses selalu jg utk mbakyu sekeluarga..slam ma smua yach..
ihiy mas, romantis deh… mendayu dayu… pas banget bacanya waktu mendung begini, hihihi… overall, walau aku setuju sama pendapat di atas. tapi karena ini surat pribadi, mau bagaimana pun aku gak akan protes dengan segala macem isinya… hehehe… pokoknya like this mas 🙂
@adit_adit Ada yg klepek2 gag ya ntar..?? Hehe..btw thx yow dah mmpir walopun hrus mlalui proses pmaksaan..hehe..bianglala siap meluncur ke e-mail..tgguin jgn kmana2 tetp di #Sujodku..:D
Wah kata katanya sungguh indah sobat oya mampir di blogku yua
Tengkiyu yach..seep..tunggu kedatanganku yach..:D