.:. Tak Ada yang Abadi .:.

[1]

Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya raga ini menjagamu

Aku merasa benar-benar tidak berarti. Maafkan aku untuk kali ini saja. Kamu mau, kan? Saat ini aku tidak bisa menjadi malaikat penjagamu. Mungkin sampai beberapa bulan ke depan. Bukannya aku tidak mau lagi. Bukan! Bukan karena itu! Sampai kapan pun, lenganku akan tetap mendekapmu. Bahkan sampai tulang lengan ini sama sekali tak bisa digerakkan, aku akan tetap mendekapmu — dalam doa yang diam.

Tunggu dulu! Meskipun begitu, yakinlah! Untukmu selalu ada kehangatan selain dekapanku. Bagimu ada kekuatan yang akan selalu menopangmu selain ragaku. Kamu tahu apa itu? Iya. Doa yang diam-diam kueja untukmu tanpa pernah kamu tahu.

Tapi maaf. Tidak saat ini!

Saat ini aku harus merelakan lenganku menjadi salah satu bagian untuk diterapi bersama kakiku. Sekarang ini ragaku hanya bisa tergolek pasrah di ranjang rumah sakit ini. Sementara kamu, ah entahlah! Kamu juga pasti tidak tahu keadaanku saat ini. Semua kulakukan karena aku tak mau memberatkanmu. Aku sudah tahu, hidupmu sudah terlalu berat untuk kamu jalani. Sengaja kutempuh cara ini agar kamu bisa mengerti, bahwa ada kalanya hubungan harus ada spasi.

Aku berharap kamu bisa mengerti dengan semua ini. Dan, aku yakin kekuatan hati takkan pernah bisa dikalahkan oleh apa pun, termasuk luka tersebab berpisah yang tak terperi.

Ah!

Aku masih menunggu giliran untuk diterapi. Di sini, di Singapore General Hospital. Aku berharap ini akan menyembuhkan cacat kaki akibat kecelakaan di bengkelku dulu. Dan, kini ingatan tentangmu tak pernah berlalu begitu saja. Seperti halnya saat ini.

“Kamu serius mau meninggalkanku?”

Itu perkataanmu yang kautuliskan dalam buku catatanmu, siang itu. Sesak tiba-tiba kurasakan. Aku masih belum menemukan jawaban yang pas untukmu. Aku tak ingin kamu ikut larut dalam sakit yang kurasakan saat ini. Mungkin dengan membohongimu aku bisa membuatmu tidak mengkhawatirkanku. Setidaknya itu menurutku.

“Maafkan aku, Aretha. Aku meninggalkanmu untuk sementara sampai urusan bisnis di Singapura selesai.”

Saat itu kamu hanya terdiam. Dan, memang kamu hanya bisa diam sejak dari dulu saat kita dipertemukan kembali. Tapi, sinar matamu tak bisa kausembunyikan.

“Kamu tidak apa-apa, kan, kalau kutinggalkan untuk sementara waktu?”

Kamu mengangguk perlahan. Kurentangkan lenganku untuk mendekapmu. Setidaknya begitu caraku ikut merayakan kesedihanmu.

“Kamu jaga diri baik-baik, ya?”

Sekali lagi kamu mengangguk.

Ah! Aretha! Sedang apa kamu saat ini? Apakah kamu sedang merindukanku? Atau mungkin kamu masih sakit hati dengan caraku yang tak bisa kamu mengerti?

[2]

Seperti alunan detak jantungku
Tak bertahan melawan waktu

Sudah sebulan aku di rumah sakit ini sejak pertama kali aku diterapi. Itu artinya tinggal sebulan lagi rumah kita akan riuh dengan hadirnya anak buah cinta kita. Membayangkan itu, aku tersenyum bahagia. Kebahagiaan yang sudah lama kita tunggu.

Di rumah sakit akut tersier terbesar dan pusat rujukan nasional di Singapura ini perlahan aku menunjukkan perkembangan ke arah penyembuhan. Aku bersyukur dan pasti kamu pun juga begitu, kalau kamu tahu.

Aku dirawat di sebuah ruangan di lantai 3 ini. Mewah tapi tetap saja sepi. Terlebih tanpa kamu menemani. Hanya surat elektronik sebagai penghubungnya saat kita berbincang. Yang aku tahu kamu bahagia dan sehat dengan kehamilanmu. Itu saja. Tak lebih.

“Jadi, kapan kamu pulang, Nak Arion?” tanya ibumu saat aku sedang beristirahat sore itu.

“Ada apa, Bu?” tanyaku singkat, penasaran.

“Tidak ada apa-apa.”

Alunan detak jantungku tiba-tiba tidak beraturan. Sepertinya ada sesuatu yang menggantung dari informasi yang kuterima dari ibumu. Apakah kamu baik-baik saja, Aretha? Aku cemas memikirkanmu. Aku khawatir kesembuhanku yang sengaja untuk mengejutkanmu justru membuatmu menderita.

“Aretha baik-baik saja, kan, Bu?”

“Iya, Nak Arion. Tidak usah mengkhawatirkan dia. Selesaikan saja urusanmu dulu.”

“Kandungannya tidak apa-apa, kan?”

Ibumu tak kunjung menjawabku. Sepertinya aku tak bisa lagi bertahan melawan waktu. Aku harus segera pulang.

“Besok pagi saya pulang, Bu.”

Sambungan internasional itu pun terputus. Aku segera menyelesaikan administrasi agar besok bisa langsung pulang.

[3]

Dan semua keindahan yang memudar
Atau cinta yang telah hilang

Esok harinya aku telah siap pulang. Aku sengaja memilih penerbangan paling pagi, agar segera sampai. Dua setengah jam perjalanan dengan pesawat terbang komersial dari Singapura terasa begitu lama. Aku pun akhirnya tiba di Bandara Ngurah Rai. Dan, itu artinya aku masih harus menempuh penerbangan lagi selama kurang lebih tiga puluh menit menuju Lombok. Aku sudah tidak sabar lagi.

Sesampai di rumah aku tersentak. Kamu menyambutku di tempat tidur. Tidak seperti biasanya saat aku bepergian ke luar kota. Kamu mencoba memaksakan senyuman saat melihatku sudah bisa berjalan secara normal.

“Kamu kenapa, Aretha?” tanyaku sambil mengulurkan lengan mendekapmu.

Kamu hanya terisak. Tak beda dengan aku. Aku dan kamu larut dalam tangisan. Sementara Ibu hanya bisa melihatnya dengan haru dari depan pintu kamar. Kamar itu mendadak menjadi abu-abu. Kamar yang seharusnya bisa membuat kita bahagia setelah lama tak berjumpa, kini ikut bermuram durja.

Sejenak kamu melepaskan pelukanku. Aku mencari-cari buku catatan dan pulpen yang ada di laci meja nakas di dekat tempat tidur. Kusodorkan padamu. Aku yakin kamu ingin bercerita banyak padaku.

“Aku baik-baik saja. Hanya butuh istirahat.”

Aku terdiam. Sama sekali tidak tahu apa maksud dari kata-katamu. Senyum pun mendadak pudar. Aku begitu khawatir. Ada ketakutan kehilangan keindahan kebersamaan. Bahkan ada perasaan takut kehilangan cinta.

Kamu masih terbaring lemah sambil mengelus perutmu yang membesar. Perlahan tanganmu meraih kepalaku dan mendekatkannya ke arah perutmu. Ternyata kamu tahu kalau aku sedang merindukan detak jantung anakku. Kamu tersenyum. Pun denganku. Ada yang aneh. Kebahagiaan yang membuncah seketika meredup.

Aku menatapmu penuh tanda tanya. Kamu pun paham lalu mulai memberikan isyarat padaku kalau anak kita sedang tidur. Aku merasa tenang. Kebahagiaan kembali membuncah. Aku pun mencium keningmu.

“Sebentar lagi aku akan menjadi Ayah.”

Aku masih senyum-senyum sendiri membayangkan aku, kamu, dan anak kita bermain di taman. Aku dan kamu duduk di bangku taman tempat pertama kita bertemu bahagia memperhatikan anak kita bermain ayunan. Tak peduli lagi pada daun yang berguguran atau pun nyanyian pengamen bersuara serak yang suka datang tiba-tiba mengganggu kebahagiaan kita. Indah.

“Kamu jahat. Kenapa kamu harus membohongiku kalau kamu berobat ke Singapura?”

Aku tersenyum padamu, lalu berkata, “Aku ingin memberikanmu kejutan sekaligus tidak ingin kamu jadi kepikiran dengan pengobatanku di sana. Maafkan aku, ya.”

Sekali lagi kamu mengangguk. Pelan. Pelan sekali. Aku pun mengerti kalau kamu memaafkan aku atas kebohonganku selama ini.

“Sudah, Nak Arion. Biarkan Aretha istirahat. Makan dulu sana. Sudah Ibu siapkan di meja makanan kesukaanmu. Pelecing kangkung,” kata Ibu sambil berlalu menutup pintu.

“Iya, Bu. Sebentar dulu. Saya masih ingin bermain-main dengan anakku,” jawabku masih menempelkan telingaku.

Akhirnya, aku memutuskan untuk meninggalkanmu. Kulihat kamu menuliskan sesuatu di buku catatanmu.

“Nanti saja aku membacanya.”

[4]

Tak ada yang abadi
Biarkan aku bernafas sejenak
Sebelum hilang

Aku bergegas menyelesaikan makan siangku. Setidaknya bisa dibilang begitu, meskipun sekarang sudah hampir pukul 15.00 Wita. Saat ini aku hanya butuh istirahat di sampingmu dan anak kita tentu saja.

Ternyata kenyataan memang tidak sesuai yang kuharapkan. Mendadak Ibu mertuaku, Ibumu, memanggilku ke ruang tamu. Aku bergegas menuju ruangan bercat biru laut itu. Ibumu sedang duduk di ujung sofa. Aku mengambil duduk di dekatnya. Bertatapan mata. Ibumu hanya diam.

“Ada apa, Bu?”

“Sebelumnya Ibu minta maaf sama kamu.”

“Kenapa harus minta maaf, Bu? Ibu ada salah sama saya?”

“Iya, Nak. Kesalahan besar,” kata Ibumu sambil menyeka air mata.

Aku semakin bingung dengan keadaan ini. Aku menghela napas. Ada ketakutan untuk menimpali perkataan Ibumu karena aku tahu Ibumu terlihat rapuh saat ini.

“Nak Arion… ,” kata Ibumu lagi, tercekat.

Aku mencoba menenangkan diri. Menyiapkan diri untuk sesuatu yang sesaat lagi mungkin akan aku ketahui.

“Maafkan Ibu karena merahasiakan hal ini. Ini bukan kemauan Ibu, tapi Aretha.”

“Merahasiakan apa, Bu? Tolong katakan pada saya, Bu! Katakan!” kataku setengah berteriak tanpa memedulikan perasaan Ibumu.

Aku semakin kalut. Keinginan untuk segera tahu semakin kuat. Tapi sepertinya dipaksa sekalipun, Ibumu tidak akan buka suara. Isak tangis Ibumu juga yang meluluhkanku. Inilah aku, luluh oleh air mata perempuan yang meluruh.

“Maafkan saya, Bu,” kataku lemah.

“Besok kamu akan tahu sendiri rahasia itu, Nak Arion. Besok kita antar Aretha ke rumah sakit, ya,” jawab Ibumu sambil berlalu meninggalkanku.

Sejuta pertanyaan menggunung. Kenapa harus ke rumah sakit? Kenapa harus besok? Mendadak ruang tengah ini seakan rubuh menimpaku. Serpihan-serpihannya terjatuh tepat di dadaku. Sesak. Tak bisa bernapas. Tuhan! Biarkan aku bernapas sejenak sebelum semua hilang. Kuatkan aku ya Tuhan!

[5]

Jiwa yang lama segera pergi
Bersiaplah para pengganti

Aku mengangguk mendengar penjelasan dokter lalu melangkah lunglai meninggalkan rumah sakit. Kugandeng tanganmu. Di belakang kita, Ibumu hanya diam membisu. Pikiranku tiba-tiba kosong, seperti hatiku. Aku tak tahu siapa yang harus kupersalahkan dalam hal ini. Aku, kamu, Ibumu, atau dokter itu. Sepanjang perjalanan pulang aku terdiam. Hening. Seperti hatiku yang sedang belajar ikhlas untuk melepas jiwa yang telah pergi. Jiwa yang selama ini ditutupi dengan kepalsuan hanya untuk kebahagiaan sesaatku saja.

Sesampai di rumah sama sekali tak ada komunikasi. Kamu kembali beristirahat di tempat tidur. Kuputuskan untuk membiarkanmu sendiri dan berlari meninggalkan semua kesedihan ini. Ya… Tuhan! Kenapa kesedihan harus datang di saat seharusnya kebahagiaan dirasakan?

“Mau ke mana, Nak Arion?” tanya Ibumu tiba-tiba menghentikan langkahku di depan pintu.

“Tidak kemana-mana, Bu. Hanya ingin mencari udara segar,” jawabku sambil berlalu.

Ibumu membiarkanku berlalu. Aku melewati pintu kayu jati itu. Pintu yang telah menjadi jalanku menuju kebahagiaan sekaligus kesedihan.

Tak lama aku sampai di bangku taman. Di sanalah aku bisa dan biasa melepaskan kepenatan. Angin. Iya… angin di taman itu yang telah menjatuhkan daun-daun saat itu. Akankah daun itu kembali terjatuh seiring kesedihanku? Entahlah.

Mataku menerawang ke pintu depan taman. Berharap kamu datang untuk menenangkan. Sesakit apa pun aku tersebab kamu, sungguh aku ingin kamu yang menyembuhkannya. Tak ada tanda-tanda kehadiranmu. Aku sudah menyerah saat akhirnya kulihat kamu berjalan tertatih dipapah Ibumu menuju ke arahku.

Hening.

Daun-daun itu kembali jatuh. Memang sudah saatnya. Pun dengan kehidupan.

“Ini semua salahku karena telah meninggalkanmu, Aretha. Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu,” kataku lirih membiarkan lengan-lenganku mencari tempat ternyamannya, memelukmu.

Aku menghela napas panjang saat kamu duduk di sampingku. Aku ingin berlari meninggalkanmu dengan kakiku yang telah sembuh, tapi air matamu berhasil membuatku bertahan. Dan, aku harus bertahan karena aku akan mengajakmu berlari. Tiba-tiba kamu menyodorkan buku catatan. Kuraih dan kubaca. Tanggal 7 Agustus 2012, tertulis di atasnya. Itu berarti kemarin.

“Maafkan aku, Arion. Aku sengaja memakai perut palsu selama seminggu terakhir, karena aku ingin melihat senyummu saat kamu tiba di rumah, bukan tangisanmu. Aku tidak bermaksud membohongimu. Sama sekali tidak. Aku pasti akan mengungkap kebenaran ini pada saat yang tepat. Aku hanya tidak ingin merusak kebahagiaanmu. Itu saja. Sekali lagi maafkan aku. Tentang anak kita, biarkan dia bahagia bersama pemilik hidupnya.”

“Tak ada kesalahanmu yang tak bisa kumaafkan, Aretha,” kataku lirih.

Aku dan kamu sama-sama pernah punya salah. Kini saatnya aku mengajakmu berlari. Lalu, kita berdua akan menghabiskan sore di bangku taman ini. Memandang anak-anak yang sedang bermain ayunan. Anak-anak kita. Seharusnya. Sampai datang keajaiban Tuhan yang akan memercayakanmu untuk mengandung anak-anakku lagi. Dengan begitu vonis dokter kandungan bukan lagi sesuatu yang harus kuyakini dan kutakuti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *