Matahari Juni meretas pagi. Sepi mengendap-endap mengetuk pintu hati. Tak kuizinkan dia untuk memasuki. Sebab gemuruh badai rindu telah lebih dulu memenuhi. Ada bisikan yang tak terkatakan. Aku menyebutnya bisik-bisik bisu. Bukan teriakan nyaring pemburu, atau tawa riang anak-anak cemburu.
Matahari Juni memelintir harapan menjadi kesedihan. Sembunyi di balik awan, menetaskan butiran-butiran hujan. Bukan! Ternyata ini tangis diam-diam. Menggenang di sudut kenang, membanjir hingga asa tiba di titik nadir. Aku menyerah pada hujan pagi ini.
Bualan-bualan kembali menguar lewat aroma basah. Pun cemooh tak mau ketinggalan. Keduanya saling mendahului, mencoba meruntuhkan hasrat tertinggi. Berhasil! Panah cibiran tepat menghunjam hati. Tombak cemoohan tepat di urat nadi.
Darah kesedihan mengucur. Mengalir ke semua sisi. Sisi baik tak lagi bisa berpikir sehat. Beradu dendam menuntaskan lewat celah-celah bibir. Melahirkan argumen dan sumpah serapah.
Tak pelak, kebaikan mendadak sirna. Tak ada lagi titik-titik tersisa. Hanya lingkaran gulita memenuhi rongga dada. Dada yang seluruh isinya telah terjatuh dalam kubangan kecewa. Berenang sendiri menggapai-gapai asa yang tersisa. Gagal. Asa enggan mengulurkan jemarinya. Sengaja membiarkan asa tenggelam meregang nyawa.
Sampai detik tak lagi ciptakan detak, hati telah retak. Meratapi diri yang terombang-ambing dalam mimpi. Kemustahilan mimpi menjelma hujan di pagi bulan Juni. Merajam takdirku sendiri.
~ mo ~