Dear Pak Daryanto,
Bagaimana kabarnya, Pak Guru?
Semoga Bapak beserta keluarga selalu di bawah lindunganNya. Seperti halnya saya saat ini.
Pak Guru,
Rasanya baru kemarin, di kelas Fisika, Pak Guru mengajarkan saya tentang reaksi kimia. Baru kemarin. Tapi ternyata waktu memilih untuk terus berputar sesuai dengan yang seharusnya. Saya dan siapapun juga termasuk Pak Guru tidak akan pernah bisa menahan lajunya. Sampai akhirnya, waktu juga yang pelan tapi pasti mengantarkan saya ke kehidupan sekarang ini.
Selama rentang waktu itu, saya yakin semua sudah banyak berubah. Bukan saja tentang usia, tetapi juga hal-hal lain yang menyertainya. Termasuk ingatan. Saya tidak menuduh Pak Guru melupakan saya, tapi sepertinya memang saya sudah tidak lagi menjadi bagian dari ruang ingatan Pak Guru. Saya memahami hal itu, sebab entah sudah berapa ribu orang siswa seperti saya yang bergantian mendiami ruang kecil itu. Tapi bagi saya, masih ada satu hal yang belum berubah, ingatan saya tentang Pak Guru.
Ingatan yang sudah saya kemas menjadi kenangan semasa SMA. Kenangan yang akan menjadi salah satu bagian terbaik dalam hidup saya. Bagian terbaik saat Pak Guru menjelaskan tentang kimia sampai pada proses reaksinya. Segala sesuatu pasti terasa sulit saat baru memulai, tapi kesabaran Pak Guru memudahkannya. Sedikit demi sedikit saya memahami materi yang Pak Guru sampaikan.
Pak Guru,
Seandainya hari ini saya bisa bertatap muka secara langsung, ada hal yang ingin saya sampaikan kepadamu, “Terima kasih Pak Guru telah mengajarkan arti dan nilai-nilai kehidupan”. Arti dan nilai kehidupan yang kautanamkan lewat senyum sederhanamu di kelas. Mungkin Pak Guru tidak pernah tahu, betapa kesederhanaan yang pernah kauajarkan itu, hari ini telah menjelma menjadi sesuatu yang luar biasa, setidaknya bagi diri saya sendiri.
Tanpa sepengetahuan Pak Guru, saat ini saya mengikuti jejakmu. Berbagi ilmu yang pernah kauberikan dulu. Pak Guru pasti tidak tahu kan? Soalnya setelah lulus SMA waktu itu, kita memang tidak ada lagi komunikasi. Saya menjalani kehidupan saya, dan demikian pula Pak Guru. Maafkan saya, Pak Guru. Karena bahkan saat ini saya tidak tahu Pak Guru masih mengajar atau tidak. Tapi, meskipun demikian bagi saya, selamanya Pak Guru tetap mengajar dalam kehidupan saya.
Pak Guru,
Ada satu kejujuran yang ingin saya ungkap saat ini lewat surat ini. Kejujuran yang tidak pernah berani saya sampaikan meskipun dulu Pak Guru pernah menanyakannya. Pak Guru mungkin sudah lupa tentang pertanyaan itu. Jadi, ada baiknya jika saya ingatkan kembali. Mungkin dengan begitu ruang ingatan akan kembali menggaungkan kenangan.
Pukul 08.00 WIB, di ruang kelas III Fisika, pelajaran Kimia, Pak Guru yang juga wali kelas saya berkata, “Mo… Kenapa kamu malah sembunyi saat ketemu saya di depan Rumah Sakit kemarin?”
Seisi kelas mendadak hening, termasuk saya. Saya tidak bisa menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan itu. Saya sendiri juga heran, kenapa tiba-tiba saya sepulang menjenguk keluarga, saya bersembunyi saat melihat Pak Guru lewat dengan mengendarai Vespa Piaggio andalan. Saya refleks saja dan tidak ada maksud untuk menghindar.
“Masak ketemu bapaknya sendiri malu? Atau kamu malu punya Bapak seperti saya?” tanya Pak Guru waktu itu, sambil tersenyum.
Sungguh. Kata-kata itu semakin membuat saya tidak berkutik. Saya mati kutu. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba mengisi ruang hatiku. Bagaimana mungkin saya sedurhaka itu? Kembali saya terdiam. Pura-pura tersenyum dalam rasa bersalah.
Pak Guru,
Maafkan saya atas kesalahan saya waktu itu. Sekarang biar saya menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan sederhana yang akan mengubah hidup saya menjadi luar biasa. Jujur ya, Pak Guru. Waktu itu saya tidak pernah berpikiran malu memiliki “Bapak” seperti Pak Guru. Saya hanya malu untuk menyapa lebih dulu. Ada ketakutan Pak Guru tidak akan mengenali saya. Dan, selama tiga tahun kebersamaan, Pak Guru pasti sudah tahu tentang saya yang pemalu. Saya harap Pak Guru bisa mengerti tentang hal itu.
Sekali lagi, maafkan saya Pak Guru. Itu adalah pengalaman berharga dan cambuk bagi saya untuk sedikit demi sedikit mengurangi rasa malu yang menjurus minder. Saya tidak malu memiliki “Bapak” seperti Pak Guru yang sederhana dan apa adanya. Justru saya bangga dengan kesederhaan Pak Guru. Itu yang menjadi contoh bagi saya saat ini. Jarak rumah yang jauh bahkan tidak menyurutkan Pak Guru untuk berbagi ilmu. Hal ini yang saya contoh saat ini. Pak Guru saja yang jarak rumahnya jauh sangat bertanggung jawab terhadap pekerjaan mulia. Apalagi saya yang lebih muda dengan jarak tempat bekerja yang lebih dekat. Saya pasti bisa menjadi lebih baik. Doakan ya, Pak.
Pak Guru,
Terima kasih, telah mengajarkan saya tentang keikhlasan dalam berbagi dan kekuatan hati dalam menaklukkan tantangan kehidupan serta profesi. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih atas semua pengabdian, sehingga saat ini saya bisa mengikuti jejak Pak Guru dalam membagi ilmu. Suatu saat, saya akan mengabarkan tentang perubahan hidup selepas lulus SMA secara langsung pada Pak Guru. Semoga jalan itu dimudahkan. Amin.
Akhir kata, Selamat Hari Guru, semoga tetap menjadi guru yang menginspirasi.
Salam hangat,
“Anak”mu dulu dan sekarang.
Momo DM
//